Bab 2

462K 26.7K 246
                                    

***

Keano memijat pelipis, mengamati laptop yang menampilkan grafik pasien pada rumah sakitnya. Bukan karena jumlah pasien yang terus menurun setiap bulannya, dia mengurut keningnya karena pekerjaan yang seharusnya dipegang kakaknya, harus diambil alih oleh dirinya. Ya, Rumah sakit utama milik keluarganya ini seharusnya bukan dirinya yang memegang kendali, melainkan Saka, kakak laki-lakinya yang super malas itu.

Pria itu melepas kacamata, matanya terasa perih setelah berjam-jam duduk didepan laptop. Kemudian menyandarkan tubuh pada kursi empuk yang tersedia di ruang kerjanya.

Matanya menatap sebuah foto yang selama ini selalu menemaninya di meja kerja. Foto pernikahannya bersama seseorang yang begitu dia cintai. Sebuah momen berharga yang dapat dia abadikan.

“Ella ...” Bibirnya menggumam penuh kerinduan. Mengamati senyum cantik istrinya yang merekah pada foto itu, meskipun dia melakukannya setiap malam, menatap foto pernikahan mereka, tapi entah kenapa rasa sesak itu masih ada.

Keano begitu merindukan istrinya. Istri yang meninggalkannya dua tahun lalu karena penyakit ganas.

Di awal kematian Ella, dia sering mengutuk diri sendiri karena menjadi dokter yang tidak berguna. Dia berhasil menyelamatkan nyawa banyak orang, tapi dirinya bahkan tidak mampu menyelamatkan orang yang begitu berharga untuk hidupnya.

Suara getaran ponsel kembali menyadarkannya, tertera nama ‘Saka’ di layar. Dengan gestur malas, Keano mengangkat panggilan itu .

“Kenapa?” tanyanya langsung ketika sambungan terhubung. Keano dapat mendengar Saka menghela napas di seberang sana.

“Lo nggak balik?”

“Enggak. Lo gunain aja apartemen gue buat bulan madu kedua kalian.” Keano menjawab dengan suara ketus, yang membuat Saka langsung terkekeh.

“Padahal gue butuh elo buat nemenin Abid.” Abid adalah anak pertama Saka, sekaligus keponakan pertama Keano.

Keano mendengus, “Kan anak elo. Kenapa gue yang harus nemenin?”

“Elo Om nya, bego! Cepetan balik, temenin Abid. Seperti yang lo bilang tadi, gue sama Sara mau bulan madu kedua.” Suara Saka kini berubah memerintah, andai dia tidak tahu kalau adiknya itu keras kepala, atau harus dipaksa dulu agar mau menolongnya, mungkin dia sudah menyerah meminta tolong pada Keano.

“Lo nggak harus ke Jakarta dan nyabotase apartemen gue cuma buat bulan madu kedua.”

“I know. But, gue butuh liburan bareng keluarga gue. Jadi, gue minta elo balik kesini dan temenin Abid.” Saka masih belum menyerah.

“Gue lagi banyak pekerjaan. Jadi, tunda second honeymoon lo sampe Abid tidur. Bye.” Dan sambungan diputus Keano secara sepihak.

Pria yang masih belum melepas jas putihnya itu hanya mampu mengela napas berat. Bukan untuk menemani Abid, Keano tahu sekali alasan kakaknya itu memintanya kembali ke apartemen. Tapi dia masih belum mau.

***

Pukul tujuh pagi, Keano baru melihat Vivian di ruang jaga. Gadis itu masih memencet dispenser untuk mengisi mie cup-nya dengan air panas.

“Sarapan, dok,” sapanya.

Keano mengangguk, mengamati ruang tempat istirahat yang kosong. “Semuanya dimana?”

“Mungkin lagi ke masjid.” Vivian berbicara seramah mungkin pada atasannya meskipun sedikit canggung.

Keano kembali mengangguk, tangannya menunjuk mie cup ditangan Vivian, “Kamu makan itu?”

“Saya nggak sempat makan berat, dokter.”

Dokter Keano tidak menjawab. Mungkin juga tidak peduli. Hanya mengangguk sekali sebelum melangkah pergi.

***

Jadwal operasi hari ini adalah siswa SMA yang menderita atherosclerosis.  Dari analisa, anak laki-laki yang bernama Raja itu memang mempunyai riwayat penyakit jantung sejak beberpa tahun yang lalu.

“Kamu nggak boleh makan apa-apa dulu sebelum operasi. Jadi kalau lapar, bisa tahan kan?” ucap Vivian setelah dirinya selesai mengecek kondisi Raja.

Remaja 17 tahun itu mengangguk mengerti. Wajah pucatnya menatap Vivian berbinar, seolah hanya dokter itu satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya. “Dokter, aku janji bakal ngelakuin apa pun buat dokter, seandainya dokter bisa nyembuhin aku.”

Vivian menggeleng, “Saya nggak minta imbalan, digaji sama rumah sakit saja sudah cukup. Jadi, kamu nggak usah berpikiran kesana. Fokus saja sama proses penyembuhan kamu. Oke?”

Sebelum Raja mengutarakan protesnya, salah satu perawat berseragam hijau masuk ke dalam ruangan.

Vivian kembali menatap Raja dengan senyum lembut yang menenangkan. “Operasinya tinggal beberpa saat lagi. Kamu harus semangat dan fokus sama penyembuhan kamu.”

***

Jam makan siang, karena Vivian malas untuk makan diluar, dirinya pun memutuskan untuk pergi ke kantin rumah sakit saja. Meskipun sedikit ramai tapi lumayan, dia tidak perlu membuang uang untuk ongkos taksi.

Dia mengangguk setiap kali berpapasan dengan beberapa suster saat dirinya berjalan menuju lift. Dia mematung saat pintu terbuka, matanya mendapati dokter Keano berdiri seorang diri disana. Dokter Keano sudah menanggalkan jas putihnya, menyisakan kemeja hitam yang mencetak otot lengannya yang atletis.

Karena sudah terlanjur berada disini, akhirnya Vivian memutuskan untuk naik lift bersama dokter Keano. Memberi sapaan sekedarnya dan berdiri dengan jarak yang paling jauh.

Meski sudah menjadi bawahan langsung dokter Keano selama beberapa minggu, dirinya masih saja canggung saat mereka bertemu diluar ruang operasi.

“Mau makan siang?” Setelah sepuluh detik ditelan keheningan, akhirnya Keano membuka suara.

“Iya,” jawab Vivian singkat.

Keano bingung ingin mengatakan apa lagi. Alhasil, dia hanya mengangguk dan suasana kembali sunyi.

Mata Vivian masih belum berhenti melirik angka untuk mengetahui dilantai mana dirinya berada.

Lantai 3.

Sedangkan kantin berada dilantai dasar. Masih butuh waktu beberapa saat lagi untuk sampai. Vivian jadi sedikit menyesal karena memutuskan untuk masuk ke dalam lift ini dan berada di situasi canggung bersama dokter Keano.

Setelah beberapa detik yang menyesakkan, akhirnya pintu mulai terbuka. Membuat Vivian seolah melihat surga dibalik pintu itu, dan ingin cepat pergi dari dalam sini. Kepalanya mengangguk memberi sapaan terakhir untuk dokter Keano. Kemudian, dengan langkah seperti dikejar setan, dia pun keluar dari pintu lift.

Keano memandang Vivian yang sudah hilang dibalik kerumunan. Tanpa sadar, bibirnya membentuk garis lurus dengan mata menyorot geli.

***

Revisi,
13Mei2020.

Doctor Lover'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang