Vivian PoV
***
Setelah beberapa tahun kuliah di Universitas Lampung, dan lulus sebagai dengan gelar sarjana kedokteran, serta langsung mengambil profesi. Aku sudah tinggal di jakarta sejak empat tahun lalu. Di mana aku berhasil menyelesaikan internship dan memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta. Atas rekomendasi Rima, temanku dari SMA.
Di sini aku juga tinggal di Indekos milik Rima yang letaknya lumayan jauh dari rumah sakit tempatku bekerja. Meski uangku juga sudah cukup jika ingin menyewa sebuah apartmen kecil, tapi aku masih bersama Rima karena lebih praktis. Kami juga bergantian membayar uang sewanya.
Awalnya aku hanya bekerja di rumah sakit cabang Bimsatya di bagian Bekasi, sebelum dipindahkan ke rumah sakit pusat empat bulan lalu setelah masa internshipku, rumah sakit yang pertama di dirikan oleh keluarga Bimasatya.
"Gimana operasinya, Vi? Lancar?" tanya Mega saat aku baru memasuki ruang jaga.
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya, "Lancar."
Aku memutuskan untuk berbaring sebentar, tubuhku terasa lelah sekali. Aku baru saja melakukan operasi yang panjang hari ini.
"Padahal kan dokter Keano ganteng ya? Kenapa nggak nyari istri lagi coba? Umurnya masih tiga puluh, pasti banyak yang mau jadi bininya. Kalau dia mau sama gue, gue juga nggak sanggup nolak." Mega cekikikan.
Di depannya ada Cantika yang juga menggosipkan dokter Keano. "Iya, seandainya ngaku bujangan pun, orang-orang pada percaya."
Gosip tentang dokter Keano memang tidak pernah mendingin di sini. Para perawat dan beberapa dokter masih sering membicarakannya.
Yang aku dengar, istri dokter Keano meninggal karena penyakit jantung dua tahun lalu. Dan gosipnya, dokter Keano bahkan masih belum bisa melepas cincin nikahnya sampai sekarang.
Aku tahu berita ini bukan berarti aku ikut merumpi bersama mereka. Telingaku saja yang tidak sengaja mendengar. Aku tidak peduli dengan kisah atasanku itu, atau kisah cinta siapa pun.
Omong-omong rumah sakit tempat ku bekerja ini milik keluarga Bimasatya. Keluarga dokter Keano. Selain menjadi dokter ahli bedah, dokter Keano juga memegang kendali atas rumah sakit ini.
"Eh, Vivi kan asistennya dokter Keano. Lo tau nggak tipenya dokter Keano itu gimana?" Kini kepala Mega menoleh kearahku.
Aku bergumam lama, "Nggak tau, Meg."
Mata Mega berputar malas mendengar perkataanku, "Kayaknya cuma elo aja deh, yang imun sama pesonanya dokter Keano."
***
Aku berbaring sambil mendengarkan Rima berceloteh, sahabatku itu masih mengoleskan krim malam di wajahnya.
"Umur lo udah 27, Vi. Lo seharusnya udah menemukan tambatan hati dari sekarang." Rima melirik kearahku. "Kayak gue, nih. Gue udah jadian sama Raffi kemaren malem."
"Elo kan tiap bulan ada yang nembak, Rim. Nggak heran gue mah." Aku menanggapi. Temanku itu memang mempunyai wajah yang cukup manis. Wajar banyak cowok yang menyukainya.
"Nggak masalah ganti pacar tiap bulan. Namanya juga nyari yang terbaik. Dari pada elo, nggak laku-laku."
Aku mencibir mendengar cuapan Rima yang nyinyir itu. Rima memang sering bicara tanpa dipikir sebab akibatnya dulu, sehingga orang yang baru kenal dia bisa tidak betah bahkan untuk sekedar mengobrol. Untungnya aku sudah terbiasa dengan mulut Rima yang seperti itu. Kadang, aku bisa membedakan kalau Rima bermulut manis pasti ada sesuatu dibaliknya.
"Eh, jadi gimana kabar dokter yang jadi atasan lo itu?" Rima meloncat keatas kasur. Kakinya bersila seolah menunggu jawabanku.
Aku meletakkan ponselku ke atas nakas, bibirku mengerut sedikit. "Dokter Keano?"
"Nah, iya itu."
Aku bergumam sebelum menjawab, "Biasa aja, sih. Beberapa hari lagi dokter Rasya balik, dan gue bisa kembali ke jam kerja gue."
Dokter Rasya adalah asisten dokter Keano yang sebenarnya. Karena beliau harus ke Bandung beberapa minggu lalu, jadi aku yang ditugaskan menjadi pengganti dokter Rasya.
Beberapa minggu ini bukannya aku tidak senang menjadi bawahan dokter Keano langsung. Namun semenjak aku menduduki posisi itu, walaupun hanya pengganti, banyak orang-orang rumah sakit yang bertanya semua hal tentang dokter Keano. Fokusku untuk bekerja jadi hilang.
"Lo kayaknya seneng banget, padahal jabatan lo bentar lagi ilang." Alis Rima menukik tajam, menatapku penuh curiga.
"Ya seneng lah. Gue nggak bisa istirahat kalau abis operasi, anak-anak nanyain dokter Keano mulu. Padahal kan gue nggak nggak tau apa-apa."
Rima kembali menyipitkan matanya, "Kayaknya cuma elo yang imun sama kegantengan dokter itu."
Lagi-lagi aku mendengar kalimat itu, dari orang yang berbeda. Ya emang apa salahnya kalau aku sama sekali tidak tertarik sama dokter Keano?
"Gue nggak mau ya, jadi pengagum magamon. Ngabisin waktu!" Aku menarik selimut. Hendak mengakhiri percakapan absurd ini sebenarnya. Daripada membicarakan bosku yang kata orang ganteng itu. Lebih baik aku tidur agar tubuhku lebih sehat untuk bekerja besok pagi.
Aku bisa merasakan Rima mendekat kearah kepalaku, kemudian bertanya tidak mengerti,
"Vi, Lo ... Katarak, ya?"
***
Revisi,
13Mei2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doctor Lover's
Romance🍁Doctor Lover's🍁 Vivian bekerja di sebuah rumah sakit keluarga milik Bimasatya. Pada masa internshipnya, dia ada di bawah bimbingan langsung si putra kedua Bimasatya, Keano. Keduanya memiliki perasaan satu sama lain setelah beberapa hari bekerja...