Kehilangan

4.6K 55 0
                                    


Sean menarik tangan ku keluar kelas menuju ke sebuah taman dibelakang sekolah. Kami duduk ditaman berdua, tak ada seorangpun disana selain aku dan Sean. Aku bahkan tak berani menatap bola mata coklat yang selalu kukagumi itu dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Hal yang paling menyesakan di hatiku saat ini karena Sean tidak marah sama sekali, bukannya marah dia hanya duduk diam membuatku semakin tak karuan.

"Maaf" kataku."Sean, apa yang ada divideo itu nggak seperti yang kamu lihat aku punya alasan" tiba-tiba kata itu keluar begitu saja.

"Le, aku tau kamu ini siapa dan aku percaya sama kamu, tapi aku juga mempercayai apa yang aku lihat" ucap Sean dengan lembut, tak terdengar nada marah sedikitpun dari bibirnya.

"Tapi, nggak sepenuhnya itu benar Sean, dengerin aku dulu" aku mulai menangis sambil berusaha menjelaskan.

"Aku akan tanya ke kamu dulu, semalam kamu kemana " tanyanya dengan suara tegas membuatku semakin takut.

"A..aaa ku, aku beneran gak ada niat buat nyakitin kamu tapi aku juga gak bisa jelasin alasannya sekarang, tolong banget ngertiin aku, aku sayang kamu". Aku masih belum bisa menjelaskan pada Sean, menurutku saat ini bukan saat yang tepat karna ada seseorang yang harus aku lindungi.

"Jadi, how can i trust?" kata Sean dengan begitu dalam, tanpa menatap mataku yang semakin memerah.

"Tunggu aku, kamu harus percaya kalau udah saatnya aku bakalan jelasin ke kamu"

"Tapi kenapa harus Gavin??" tanyanya sambil menutup mata seolah menahan amarah. "Kamu tau Gavin temen deket aku dari SD, SMP dan sekarang justru melakukan hal yang bahkan tak pernah aku lakukan sama sekali untuk menghargai kamu Le".

"Enggak gitu Yan, kamu harus ngertiin aku dan percaya sama aku yang kamu lihat itu nggak bener Sean"

"Iya, okey tapi kapan kamu jelasinnya"

"Aku aka jelasin, tapi nggak sekarang Yan, maaf"

Kami saling bediam memandang burung yang jatuh dihamparan rumput mencari cacing, hembusan angin sama sekali tak terasa. Aku berharap ada angin yang melintas sehingga dapat membuka hati Sean yang kurasa aku akan kehilangannya.

"Lea, setelah ini kita bakalan ujian buat masuk universitas, aku gamau masalah ini jadi beban buat kita berdua" kata Sean, "Kamu juga tau, bagaimana aku dan apa aku bisa mempercayai sesuatu yang jelas sudah terbukti didepan mata Le, untuk saat ini kita fokus sama tujuan kita masing-masing Le, sampai kamu menyadari mana yang harus kamu prioritaskan untuk kamu beri tahu hal yang menurut kamu penting, maaf banget".

Ucapan Sean membuatku linglung, kepercayaan diri seakan langsung menghilang aku menangis dan memohon pun bahkan tak ada gunanya, aku tau Sean adalah si keras kepala.

"Yan, sekali lagi aku minta maaf tapi kita nggak harus putus seperti ini"

"Maaf Le, entah benar atau nggak itu sama, bagiku menyakitkan" Sean pergi meninggalkan ku karena mendengar suara bel masuk. Sean menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Berharap Sean meraih tanganku kembali, nyatanya air mata itu benar-benar tak bisa kusembunyikan.

"Le, ingat kalau kamu benar tunjukan dan fokus sama ujian, semangat" katanya dengan tenang dan aku mengangguk. Namun, aku menyadari sorot matanya menunjukan kesedihan. Cinta pertama ku di SMA lenyap begitu saja, Sean orang yang baik dan selalu disisiku tiga tahun kebelakang ini. Ingin rasa nya aku memeluk Sean, tetapi bagaimana mungkin satu masalah saja belum selesai.

Rasanya hari itu aku tak ingin kembali ke kelas, namun persiapan masuk universitas ini jauh lebih penting. Memasuki kelas, seolah tak terjadi apapun tapi samar-samar aku mendengar mereka saling berbisik. Bagi seorang yang membenciku kejadian ini seperti makan siang yang nikmat untuk disantap bersama, ini adalah sebuah kemenangan. Hari itu cepat usai dan Gavin, dia tak masuk sekolah hari ini entah dia tau masalah ini atau tidak. Saat itu, aku hanya fokus pada diriku yang hanya mampu berdiam diri dikelas berusaha menutup telinga atas bisikan menyakitkan.

......

Keesokan harinya aku harus mendapatkan panggilan bersama Gavin. Kami hanya meminta maaf dan berjanji tak akan mengulanginya. Salah satu alasan kenapa aku dibebaskan dari hukuman karena prestasi yang aku berikan untuk sekolah selama hampir tiga tahun ini. Meski begitu akibat hal ini, skor nilai kami berdua dikurangi.

"Vin, gak ada yang pengen lo sampain ke gue" kataku ketika kami akan kembali kekelas.

Gavin menatapku, lalu beranjak pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Aku memasuki kelas dengan suasana yang sama seperti kemarin. Tak heran jika nama Lea saat ini sedang buruk di sekolah. Bahkan guru-guru pun mengaku kecewa dengan kejadian yang telah aku perbuat, meskipun gak ada aturannya asalkan hal itu dilakukan diluar sekolah, tetapi video itu menjadi salah satu hal yang mencoreng nama baik sekolah.

"Nin, yang tugas kemaren udah ngerjain belum" aku berusaha untuk bersikap biasa pada Nindi. Dia berbalik dan berkata.

"Eh udah" jawaban yang sangat tidak enak didengar. Sejak pagi tadi baik Nindi, Dian atau grup Chocolatos diam tak ramai seperti hari-hari sebelumnya. Hal ini membuat ku semakin tidak enak. Kalau biasanya kita selalu berkumpul di kantin atau koridor sekolah, dua hari ini mereka mengabaikanku, meskipun aku sudah bersikap biasa tetapi kehadiranku justru membuat mereka merasa canggung.

Istirahat tiba

Aku berjalan sendiri usai dari kamar mandi, di koridor aku mendengar suara Nia anak kelas sebelah yang sudah lama menyukai Gavin.

"Hahah, tuh-tuh ada si munafik didepan sok pinter dibelakang open BO" katanya keras diikuti tawa gengnya. Aku berusaha tak menghiraukan, namun ada yang membuatku penasaran dengan orang disebelah Nia, tak hanya geng biasanya tapi disitu ada Meghan, Sukma, Nindi dan Dian. Kepala ku langsung berat begitu saja, ingin menangis., berlari, kecewa sedalam-dalamnya atas ketidakjujuran ku.

Aku tetap berjalan memasuki kelas, rasa kecewa yang ada saat ini bukan hanya karena aku kehilangan Sean tapi sahabatku, terutama Nindi dan Dian yang sudah menemaniku sejak kelas satu. Aku hanya berharap, setidaknya jika aku kehilangan kepercayaan semua orang, harusnya ada mereka yang selalu disisiku untuk menguatkanku saat ini. Aku menangis dan memilih untuk bolos kelas untuk pertama kalinya dalam hidupku.

Sepanjang aku pergi meninggalkan sekolah, ada dua pasang mata mengamatiku dari tempat yang berbeda. Gavin yang menatap dengan rasa bersalah, lalu Sean yang menatapku dengan datar.

Sejak hari itu, aku bertekad untuk berani sendiri dan tak menggantungkan apapun pada siapapun sampai hari kelulusan tiba, masa SMA yang akan berakhir satu bulan lagi, begitu tak ingin aku kembali kesana.

Masa kini...

Aku tersentak dari lamunanku saat mendengar suara langkah dosen memasuki kelas. Hari itu begitu normal, tak ada yang spesial.

Aku menyadari bahwa aku bukanlah seperti yang dahulu. Yang selalu aktif, ceria dan bisa humble kepada siapapun. Rasa percaya diri itu hilang sejak kejadian itu. Takut merasa kecewa dan mengecewakan orang lain. Aku memilih untuk menjalani hidup yang bukan aku pergi kuliah lalu pulang ke apartemen tanpa sahabat atau pacar. Kalau teman? Ya ada tapi sekedar teman, seklai lagi tak ada yang spesial dihidupku saat ini.

EKSPETASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang