Lelaki itu tersenyum lembut masih seperti saat pertama kami bertemu, aku hanya mampu menatapnya dengan nanar dan sulit sekali untuk mengakui kenyataan bahwa Sean ada disampingku.
"Lea, apakabar?" ucapnya memandangku.
Aku bisa merasakan seluruh isi kelas sedang melirik ke kami, samar-samar aku mendengar mereka berbisik.
"Tumben Lea ngerespon" ucap salah satu anak yang duduk dekat dengan ku.
"Ahhh baik, kamu? disini?" kataku begitu gugup meskipun berusaha tenang, dan bodohnya aku kenapa bilang aku kamu jadi merasa aneh aja.
"Ikut progam pemerintah pertukaran pelajar, jadi aku pilih kampus ini" kata Sean tidak berbasa-basi, ini yang kusuka dari dia aku tak perlu menunggu jawaban lama.
"Oh" sahutku karena bingung harus merespon bagaimana, aku masih belum percaya Sean ada disampingku. Apakah itu yang bisa diucapkan oleh mantan kekasih yang setahun tidak bertemu dan kita dipertemukan di kondisi yang aku sendiri masih merasa bahwa ini masih mimpi. Untung saja dosen tiba-tiba masuk sehingga kita langsung fokus ke pembelajaran.
Selama perkuliahan aku tak bisa fokus sama sekali, jantung tidak bisa dikondisikan, keringat dingin di telapak kaki membuatnya tak nyaman. Namun, beruntung hari ini dosen ku hanya mengajar setengah jam dari jam pembelajaran seharusnya, aku segera keluar kelas.
Aku tidak kabur, hanya saja aku ingin menghindari Sean untuk saat ini, aku tidak ingin lelaki itu melihat Lea versi sekarang yang bertingkah aneh. Bertemu mantan kekasih setelah satu tahun dengan alasan yang sama sekali nggak masuk akal, masih ada teka-teki diantara kami yang belum terselesaikan, perasaan itulah yang membuatku ingin segera pergi dari kelas ini. Namun baru saja aku beranjak pergi Sean memanggilku.
"Lea" dengan sangat berat dan ragu aku menoleh kepadanya.
"Iya?"
"Udah makan" seharusnya aku menjawab sudah tapi ternyata perut lebih dulu menjawab pertanyaan Sean.
"Masih aja ya kalau laper perutnya suka bunyi kencang" katanya dingin tapi membuatku teringat masa remaja kami di SMA saat baru bersama.
Ingin rasanya menghindar, tetapi sikap ku yang seperti ini tidak akan menyelesaikan teka-teki diantara kami. Mungkin aku yang naif atau aku yang terlalu merindukan Sean memilih untuk mengiyakan ajakan Sean.
"Oke boleh" kami berjalan menyebrangi jalan dan memilih cafe di sekitar kampus yang berkonsep vintage. Sepanjang jalan hanya langkah kaki kita berdua yang terdengar serta lalu lalang mahasiswa lain yang mungkin melihat kita bak pasangan kekasih yang sedang bertengkar.
"Mocha latte dan Matcha Latte kan?" tanya nya kepadaku, aku hanya mengangguk, kikuk karena dia masih ingat kesukaanku, tapi entah kenapa aku senang.
"Sama makannya nasi goreng dua pedes" lanjut Sean.
"Tanpa bawang goreng tabur" ucap kita bersamaan.
"Udah itu aja mas," ucap Sean kepelayan. "Hahahaha masih gak suka sama bawang goreng" kata Sean yang masih tertawa.
"Ya begitulah, Yan kenapa memilih buat kembali kesini kata orang lebih enak di Malang?" aku mencoba mencari obrolan.
"Ada yang harus aku selesaiin Le" kata Sean menatapku.
"Tentang?" ucapku
"Ada, kamu makin cantik Le" ucap Sean membuat pipiku memerah. Sean salah lihat, menurutku dia yang sekarang berbeda, lebih terlihat dewasa, tampan, kumis tipis dan lebih tinggi dari pada saat SMA.
"Dari dulu cantik kali" kataku percaya diri. Sejak dulu bersama Sean aku bisa menjadi versi diri aku, meskipun sekarang masih ragu tetapi aku tetap mencoba untuk membuat Sean merasa nyaman.
"Kamu nggak sadar tadi ada aku?" aku menggeleng menjawab pertanyaannya.
"Terus sekarang di apartemen sendiri?" tanyanya dengan nada khawatir.
"Kok tau aku tinggal di apartemen?" tanyaku balik curiga kenapa dia tau aku tinggal di apartemen.
"Eh ya, kalau nggak ngekos kan apartemen asal ceplos aja" ucapnya terdengar ragu.
"Iya", "Terus kamu sendiri tinggal dimana?"
"Apartemen Hill Tree studio 105" aku berhenti meminum matcha didepanku, kaget dengan jawaban Sean. Ternyata di tinggal tepat dilantai bawah.
"Kok sama"
"Kamu disitu juga" ucap Sean seperti menyembunyikan sesuatu.
Tapi aku yang lama tak terlalu berinteraksi dengan orang kurang peka terhadap hal-hal kecil seperti itu. Kita melanjutkan dengan bercerita ringan tentang perkuliahannya dikampus sebelumnya tanpa sedikitpun menyinggung tentang masa lalu kita.
Sean mengajak ku untuk pulang bersama dengan alasan satu tujuan. Akupun mengiyakan. Kita berdua berjalan memasuki lift menuju dua lantai yang berbeda.
Saat memasuki pintu lift aku tak hati-hati dan hampir saja terjatuh jika tangan itu tak sigap meraihku. Aku terjatuh di dada bidang yang dulu tak sebesar ini, tetapi aku masih mencium aroma yang sama seperti setahun lalu, kita saling bertatap sejenak mendengar suara jantung saling berpacu. Berada di pelukannya membuatku puas melampiaskan kerinduan yang ada, aku segera tersadar melepaskan diri.
"Sorry" ucapku melepaskan diri, tetapi Sean hanya tersenyum, bibirnya tak bisa berbohong terus membentuk lengkung keatas.
"Le" panggilnya perlahan saat pintu lift tertutup, hanya ada kita berdua disini. Suasana menjadi canggung terlebih jarak diantara kami hanya 50 meter.
"Aku rindu" ucapnya, yang membuat kaki ku lemas seketika tetapi tak berani menoleh hanya menatap bayangan dari lift.
"Itu salah satu alasan aku kembali kesini" ucapnya lagi.
"Yan" belum sempat aku membalas pintu lantai 10 terbuka.
"Lea, hati-hati" dia keluar dan melambaikan tangan tak lupa tersenyum seolah dia menunjukan hari ini dia begitu bahagia.
"Sean apa maksudnya" ucapku sendirian masih bingung dengan apa yang terjadi hari ini. Tiba-tiba dia bertemu Sean dan mendengar kalimat yang lama sekali ingin aku dengar.
Entah aku harus bagaimana, bersikap seolah baik-baik saja atau bersikap acuh seperti perlakuan ku kepada yang lain. Hari ini pertemuan dengan Sean membuat ku hampir kehilangan nyawa, bagaimana tidak debaran yang sudah bertahun-tahun ternyata masih bisa aku rasakan. Aku juga merindukan Sean, sama seperti dia tetapi setiap kali mata itu tulus memandangku, aku takut akan menyakiti hati lelaki itu kembali. Tapi tak bisa kupingkiri saat Sean meraih tubuhku hati ku bergejolak dan tubuhku terasa panas didekatnya.
Sementara di kamar lain, Sean memandang atap plafon dikamarnya.
"Lea, aku senang kamu baik-baik saja" ucapnya tersenyum, nampak matanya bersinar memancarkan cinta yang seperti nya tak pernah hilang, gejolak itu masih ada disana merindukan auroranya yang kehilangan jati dirinya.
Alasan Sean kembali kekehidupan Lea adalah Allea satu-satunya bagi Sean.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSPETASI
Genç Kız EdebiyatıGara-gara kesalahan di malam pesta itu, Lea gadis yang selama ini menjadi kebangaan kehilangan seluruh kepercayaan dirinya. Hingga dia harus mengalami kehilangan banyak orang yang berati dihidupnya. Kekasih dan sahabatnya bahkan tak mempercayai Lea...