Sinar matahari pagi menyentuh pipiku, menghangatkan jiwa yang terlelap di dalam studio apartemen Sean. Perlahan aku membuka mata dan melihat lelaki yang menatap ku, dia terlihat canggung namun senyumnya tak bisa dipungkiri bahwa sinar matahari pagi membuatnya sangat tampan.
Aku juga barus sadar bahwa posisi tidurku berbeda, semalam aku duduk disamping tempat tidur Sean, disebuah kursi mini agar aku lebih mudah mengompres tubuh Sean yang semalam demamnya semakin tinggi. Namun, pagi ini aku tersadar bahwa aku tidur disamping Sean dan kami hanya dibatasi oleh guling.
"Aduh sorry gue ketiduran disini, gimana udah enakan?" tanyaku memegang dahi nya.
"Udah kok, lo lucu banget kalau lagi ngiler" tanyanya, langsung aku meraba pipi kiri kananku mencari aib yang memalukan itu.
"Ah masa gue ngiler, kok gue bisa disini Yan? " kataku dengan malu.
"Jalan sendiri" ucapnya terkekeh.
"Lo gak macem-macem sama gue kan?" tanyaku curiga.
"Lea??" balasanya dengan senyuman.
"Hahaha enggaklah, gue udah enakan kok thakyou ya Le" kata Sean melihatku menyingkirkan kompres semalam.
"Yan, lo gak punya sesuatu buat dimakan?" tanyaku sembari membuka kulkas Sean yang hanya berisi air dingin.
"Gak ada, lo laper?"
"Bukan buat gue, lo yang harus makan tepat waktu, maag lo masih sering kambuh nggak?" tanyaku menghampiri Sean, mengingat lelaki itu dulu saat SMA pernah sakit hingga dua minggu karna maag dan typus.
"Enggak sih Le, Cuma pas lagi banyak pikiran aja" kata Sean, bangkit dari tempat tidurnya.
"Mikir apaan emang? yaudah kalau gitu lo ikut gue keluar, entar gue yang nyetir" kataku merapikan tempat tidur Sean, seolah aku istrinya. Udah kebiasaan tiap pagi selalu rapiin tempat tidur jadi kebawa saat berada di studio apartemen Sean.
"Le, udah kayak istri aja" ejek Sean.
"Lagi baik nih, yaudah deh" kataku melepaskan selimut yang mau kulipat.
"Idih laper gampang ngambek, kita mau kemana?" katanya memandangku sambil mengambil air untuk diminumnya.
"Makan, sama sekalian ikut ke suatu tempat ada yang gue kasih tau ke lo" kataku kembali merapikan selimut Sean yang aromanya khas selalu teringat meskipun sudah setahun lamanya.
"Gue mandi dulu Le, lengket banget" Sean beranjak masuk ke kamar mandi.
"Yan, gue balik ke tempat gue dulu ya mau mandi sekalian, ntar kalau udah tunggu aja di lobi" kataku pada Sean yang berada didalam kamar mandi.
"Iya...iya" ucap Sean berteriak.
Aku menutup pintu studio apartemen Sean dan kembali menuju lantai 11. Entah apa yang akan aku lakukan. Sejak Sean menangis semalam, hatiku begitu sakit sehingga hari ini juga aku akan mengatakan yang sebenarnya tentang kejadian itu.
Aku duduk dibangku kemudi memberi arahan kemana Sean harus pergi. Tadinya aku ingin menyetir. Namun, Sean merebut kursi kemudi lebih dulu. Dia bilang lelaki harus selalu kuat.
"Yan, perjalanan kita lumayan jauh hari ini kita bagi ya kalau kamu capek gantian aku" kataku kepada Sean yang mulai berlalu meninggalkan apartemen.
"Iya, emang kita mau kemana?"
"Kita pulang"
"Pulang kemana?"
"Kerumahku" kataku.
"Yang bener Le, jauh banget"
"Iya, ada yang mau aku tunjukin ke kamu, mumpung masih pagi" ucapku datar.
"Kalau gitu, sekalian kita makan ditempat favorit kita dulu" kata Sean.
"Boleh, tapi kamu keburu maag nya kambuh lagi empat jam lo ini"
"Gakpapa kita lewat tol, Cuma butuh tiga jam" ucap Sean.
"Kalau gitu mampir di mini market" kataku yang melihat didepan ada sebuah mini market. Sean menghentikan mobil nya tepat didepan mini market yang baru buka tersebut.
Aku kembali masuk ke dalam mobil, dengan membawa kantong berisi mineral dan dua onigiri.
"Nih, makan dulu onigiri spicy chicken kesukaan kamu" kataku membukakan bungkus onigiri.
"Thankyou, masih inget aja Le" kata Sean mengambil onigiri dari tanganku, meskipun dia sangat menyukai nasi kepal segita itu tetapi dia tak pernah bisa membuka, selalu saja berantakan.
"Pede sekali anda" aku mencoba menangkis kepedean Sean.
Sean melanjutkan perjalanannya, dijalan kami sempat bertukar tempat karena kondisi Sean yang tidak memungkinkan. Kami tiba di sebuah lahan dengan pepohonan rindang yang membuat sejuk area pemakaman tersebut. Aku memandang ke samping kiri, menemukan lelaki yang masih menggetarkan hati tertidur dengan lelap.
"Yan, sampe" kataku lembut sembari menepuk perlahan bahu Sean.
Matanya perlahan terbuka, dia menggerakan bahunya kebelakang sambil terus menyadarkan jiwanya.
"Lama ya, gue tidur?" Ucapnya belum sadar saat ini kita berada dimana.
"Lumayan, yuk" kataku, sembari mengambil buket bunga di bagasi mobil yang tadi sempat kubeli tanpa sepengetahuan Sean,
"Kenapa kita kesini Le?" tanyanya kebingungan ketika turun dari mobil. Sean hanya terus berjalan mengikuti ku yang terdiam.
Melewati setapak jalan, diantara batu nisan membuat aku bergetar. Mengingat setiap kejadian yang begitu memilukan pada dirinya. Masih satu tahun yang lalu, tapi rasanya begitu cepat berlalu. Tak ada yang berubah di tempat ini selain semakin luasnya untuk nisan-nisan baru. angin berhembus lembut mengikuti langkah kaki kita, mengantarkan kami kesebuah tempat kedamaian orang yang pernah kita sayangi.
Aku berhenti disebuah batu nisan yang berada di samping pohon kamboja. Nisan bertuliskan "Gavin Pratama" meninggal 2 Agustus 2020. Sean berdiri tak percaya menatap batu putih yang ada didepannya, matanya nanar menatap gundukan tanah dengan bunga yang mulai mengering. Aku berjongkok meletakan bunga krisan putih.
"Le.." ucap Sean terbata, dan duduk tak berdaya di rumput basah.
"Iya ini Gavin" kataku tak kuasa membendung air mata, melihat Sean memucat memandangi makam Gavin.
"Lea ini beneran? apa yang terjadi sama Gavin, Vin lo kenapa" ucapnya tak percaya, menangis diatas tempat peristirahatan Gavin. Aku memegang bahunya untuk menguatkan lelaki itu.
"Le, kenapa nggak ada yang kasih tau gue, setahun ini kalian kemana?" kata Sean begitu marah, air mata Sean mengalir begitu memilukan, sejak kejadian itu hubungan Sean dan Gavin merenggang, bahkan Gavin sempat mencari Sean di kampusnya saat masih semester satu. Namun nihil, Sean tak pernah diketahui keberadaannya, atau mungkin dia yang menghindari kami. Lelaki yang selalu kuat dimataku itu begitu rapuh menyadari sahabat nya telah tiada.
"Gavin orang baik Yan, dia nggak pernah salah" ucapku bingung memulai darimana. Sean hanya terdiam mendengar kalimatku, dia bersandar tak berdaya dibahuku memandang sahabat yang bahkan sudah tak bisa dia jumpai lagi. Tak bisa dipungkiri raut wajah Sean menunjukan penyesalan yang begitu besar karena dia kehilangan sahabat kecilnya.
"Alasan aku nggak bisa jujur karena dia Yan, selama ini gue memendam bukan karna gue berkhianat, tapi Gavin orang yang harus gue lindungi".

KAMU SEDANG MEMBACA
EKSPETASI
Chick-LitGara-gara kesalahan di malam pesta itu, Lea gadis yang selama ini menjadi kebangaan kehilangan seluruh kepercayaan dirinya. Hingga dia harus mengalami kehilangan banyak orang yang berati dihidupnya. Kekasih dan sahabatnya bahkan tak mempercayai Lea...