Mulai Goyah?

70 2 1
                                    

"Lea..." panggil lelaki yang ada didepanku.
"Ha..." aku menoleh.
"Mikirin apa?" tanya nya, "Tuh liat jebol ntar Capslocknya" katanya sembari mengangkat tanganku menjauh dari keyboard, tanpa kusadari aku menekan huruf S terlalu lama hingga memunculkan deretan huruf S di kolom pencarian.
"Eh maaf" aku tersadar dari lamunanku, sejak tadi aku memikirkan kejadian di bukit bersama Samuel. Entah apa yang merasuki kakak sahabatku itu, mengapa dia memelukku tanpa berkata apapun. Bahkan selama dijalan pulang dia sama sekali tak membahas hal yang terjadi di bukit. "Mungkin dia merindukan adiknya Carla? atau ah entahlah" ucapku dalam hati.
"Maaf Sean, kayak nya gue agak lelah malam ini" kataku kepada Sean.

Malam ini aku berjanji untuk kerjain project artikel dengan Sean. Saat ini Sean duduk di ujung meja kecil di apartemennya yang sederhana, matanya terfokus pada laptop di depannya. Cahaya lampu meja memancar di ruangan yang terang, menciptakan atmosfer yang tenang di sekitar kami. Di sampingnya, ada aku yang duduk dengan buku terbuka dan laptop, tetapi Sean bisa menyadari bahwa pandangan ku sering teralih ke jendela yang menampilkan pemandangan malam yang redup di luar.

Setiap beberapa saat, Sean menyadari bahwa aku  menatap ke hamparan gedung-gedung jauh di cakrawala, mataku tampak melayang jauh cukup jelas menyatakan bahwa aku sedang tidak fokus. Sean menyadari bahwa meskipun aku berada di hadapannya, sepertinya melayang ke tempat lain — mungkin ke masa lalu mereka atau hal-hal yang belum terselesaikan.

Sean memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya sejenak dari layar laptop. "Allea, apa yang lo pikirkan? kalau capek, kita nggak harus kerjain malam ini" tanyanya dengan lembut, mencoba memperoleh perhatiannya.

Aku menoleh ke arahnya dengan senyum lembut yang terlukis di wajahnya. "Maaf Sean," kataku, suaraku terdengar sedikit terdengar jauh. "Gue hanya teringat pada beberapa kenangan lama" kataku sedikit berbohong, meskipun begitu juga tidak bisa dipungkiri apa yang kulakukan dengan Sean malam ini juga membangkitkan memori saat aku dan Sean berkencan.

Sean mengangguk mengerti, meskipun ada getaran halus di hatinya ketika Allea mengungkapkan itu. Dia menyadari bahwa pertemuan ini mungkin membawa kembali banyak hal yang mereka bagikan bersama di masa lalu, baik yang manis maupun yang rumit.

"Kita bisa istirahat sebentar kalau lo mau," Sean menawarkan, mencoba membuatku merasa lebih nyaman. Dia ingin dia tahu bahwa dia selalu ada di sana untuknya, bahkan jik kita hanya sedang duduk bersama mengerjakan tugas.

Aku tersenyum penuh syukur pada Sean, merasakan kehangatan dari penawarannya. Mereka berdua kemudian mengambil napas dalam-dalam, mengambil waktu sejenak untuk hanya duduk bersama dan menikmati kehadiran satu sama lain di apartemen studio yang tenang itu.

Aku berdiri, menaruh buku investasi manajemen yang sejak tadi ada di tangan ku. Aku berjalan kearah kaca besar yang menghadap hamparan gedung, termasuk gedung tempat kita belajar juga terlihat dari kamar Sean.

"Ini buat lo?" Sean menghampiriku dan memberi sekotak susu vanilla.
"Thanks" aku menerimanya, "Sean, kalau lagi gini, gue jadi ingat Gavin selalu gangguin kita kalau lagi nugas" kataku sembari meminum susu vanilla, aku tersenyum saat melihat kotak susu vanilla itu, Sean masih ingat setiap kali aku merasa gelisah, aku akan meminum susu vanilla dibandingkan makan sekotak coklat.
"Dia bakal muter musik kenceng, terus habisin makanan yang kita pesan" tambah Sean, yang kini duduk di sofa panjang yang langsung menghadap kaca.
"Kalau difikir-fikir lumayan ngeselin ya dia tapi kangen juga hahaha" kataku ikut duduk disamping Sean. Agar lebih nyaman aku mengangkat kaki ku keatas sofa dan memeluk dua kaki ku dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang susu kotak.
"Tapi gue seneng deh Le" ucap Samuel.
"Seneng kenapa?" tanyaku, aku sedikit meringkuk.
"Ya seneng, terlepas dari kesalahpahaman kita dimasa lalu, lo masih izinin gue buat disamping lo Le" Sean mengatakan dengan lembut, meskipun tidak menatapku saat berbicara, aku bisa merasakan ketulusannya.
"Gue jauh lebih seneng, asal lo tau Yan" ucapku dalam hati, sambil menyedot susu kotak hingga habis "greeek" suara kotak susu yang habis tak bersisa.
"Lucu banget mantan aku ini" ucap Sean menyubit pipi kiriku dengan gemas, sepasang mata Sean memperhatikan ekspresiku yang sedikit berbeda, "Allea selalu terlihat begitu lucu kalau lagi nggak fokus," katanya dengan lembut.

Allea tertawa kecil, "Sakit ih" ujarku, menatap Sean dengan senyum hangat di wajahnya.

Namun senyum itu pudar ketika Sean tiba-tiba mengangkat topik yang tak terduga. "Tadi sore, sebelum kita bertemu, apa yang lo lakuin sama cowok itu?" tanyanya perlahan, matanya memperhatikan reaksi ku dengan cermat.

Aku menatap Sean, bisa kubayangkan mataku dengan jelas memancarkan kebingungan dan kejutan. "Samuel? Oh, itu..." aku terdiam sejenak, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Gue cuma mengantar Carla bersama-sama. Tidak ada yang lain antara gue dan Kak Sam, Sean."

Namun, raut wajah Sean menunjukkan ketidakpuasan yang samar. Meskipun dia mencoba menahan perasaannya, getaran kecil kecemburuannya mulai terasa di dalam dirinya. "Benarkah?" gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan. "Maaf, gue hanya ingin memastikan."

Aku menghela nafas dalam-dalam, menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres meskipun aku telah menjelaskan dengan jelas. Aku menyentuh tangan Sean untuk menenangkan hatinya. Sean menatap matanya, merasakan getaran hangat dari sentuhan tangan Allea. Dia ingin mempercayainya sepenuhnya, tetapi rasa cemburu itu tetap mengganggu di balik pikirannya. Dia merasa seperti ada yang tidak beres, meskipun dia tidak bisa menemukan kata-kata untuk menggambarkannya.

Kami berdua terdiam sejenak, atmosfer di sekitar kami terasa tegang. Di antara, sebuah kebingungan yang tak terucapkan merayap perlahan-lahan, menantang kedekatan yang baru saja mereka bangun.

Maafkan aku Sean, hari ini banyak hal yang aku fikirkan. Hatiku terasa goyah dan tidak tenang saat ini.

POV Sean.

Melihat Allea malam ini membuatku khawatir. Dia terlihat gelisah, entah apa yang ada dipikirannya.
Beberapa hari ini aku jarang bertemu dengan gadis itu selain di kampus, aku tau sahabatnya Carla sedang mengalami masalah.
Dan aku juga tau, Carla adalah adik Samuel pikiran itu cukup mengganggu pikiranku selama beberapa hari ini.

Disisi lain, aku berusaha untuk tetap tenang dan befikir dingin. Membiarkan Allea melakukan hal yang dia inginkan dan mendukungnya adalah pilihan tepat. Dia tidak akan memaksakan perasaan Allea jika akhirnya mereka tidak bisa bersama, karena dia tau. Allea sangat terluka olehnya.

Tapi hati ku begitu sakit, melihat Allea gelisah memikirkan hal lain saat bersamaku. Meskipun tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku tau bahwa gadis itu memikirkan Samuel. Aku melihat Allea, perempuan yang dulunya ceria, kini masih nampak menggemaskan. Perasaan ingin memiliki kembali begitu menguasai diriku. Semoga perasaan ini tidak akan melukai mu Allea. Biarkan aku berjuang sekali lagi.

EKSPETASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang