Anak Baru dari Kisah Lama

1K 36 0
                                    

"Lea...Lea!" Suara Carla membangunkan ku dari lamunan yang nikmat di pagi hari.

"Le, leeeee.... hasilnya udah keluar," sahut Carla bersemangat.

"Hasil apa?" aku masih bingung, nyawa masih belum kumpul gara-gara pagi ini buru-buru ke kampus dan ternyata belum ada dosen alhasil nungguin sambil melamun.

"Campus Ambassador!" Carla dengan semangat membacakan daftar pemenang. "Nih, Allea Nora Shafire diurutan ke 15 nih lihat ada nama lo" katanya begitu senang, seolah dia yang memenangkannya.

"Tapi kan, itu cuma administrasi dengan file-file yang kemarin kita kumpulin" kataku yang tak ingin berharap apapun, karena belum melaksanakan kompetisi ini secara langsung. Memikirkan lolos ke tahap selanjutnya membuat ku begitu gusar menghadapi tantangan selanjutnya.

"Iya emang, tapi setidaknya satu langkah menyingkirkan ribuan pesaing sudah terlaksana, nah sekarang lo harus persiapin semaksimal mungkin buat tahap selanjutnya, nanti gue bantu" kata Carla sembari merangkulku.

"Emang tahap selanjutnya apa La?" tanyaku yang was-was jika selanjutnya terlalu berhubungan dengan banyak orang, aku takut jika tak nyaman akhirnya membuat Carla kecewa.

"Em, entar gue liat," kata Carla yang fokus memainkan layar handphone, "Untuk tahap selanjutnya ada tes tulis dan wawancara mudah kan?" ucap Carla dengan entengnya. Tes tulis mungkin mudah saja bagiku, tapi wawancara bisakah aku memuaskan hati lawan bicara ku dengan apa jawaban ku, rasa percaya diri yang hilang sulit sekali untuk kembali bangkit apalagi didepan orang yang tidak aku kenal.

"Huft, bantuin belajar tapi" kataku cemberut.

"Iya pasti, yaudah gue mau balik ke kelas dulu byeee" ucapnya berlari meninggalkanku.

Setelah Carla pergi, aku kembali sendiri malas untuk berinteraksi dengan orang-orang disekitar. Meskipun ada teman sekelas tapi rasanya aku tidak ingin menjalin hubungan terlalu jauh, kata orang semakin kita dewasa kita akan memilih untuk tidak banyak berinteraksi dengan orang lain jika tak penting, apakah ini kedewasaan atau hanya rasa tak percaya diri jika diabaikan.

Aku melirik jam yang menunjukan kelas ekonomi selanjutnya, dengan gontai kulangkah kan kaki menuju bangku dewa paling ujung. Hari ini bangku paling ujung disebelahnya terisi. Padahal hari-hari sebelumnya tak pernah terisi jika kelas tidak benar-benar full. Tapi karna masih ngantuk aku tak memperhatikan siapa manusia yang duduk di deretan bangku dewa.

Lama menunggu dosen yang tak kunjung datang, akhirnya aku memilih untuk merebahkan kepala diatas meja daripada mengundang orang lain untuk berbicara dengan ku. Tapi entah kenapa aku merasa ada seseorang yang mengawasiku sedari tadi. Tak nyaman dengan perasaan itu aku mengurungkan niat untuk tidur, lantas mengambil handphone dan headset di dalam tas, mungkin akibat mata yang masih begitu lengket tidak ingin bekerjasama hari ini aku justru menjatuhkan headset tepat dilantai antara meja ku dan meja si anak yang akupun belum melihatnya sama sekali.

"Huft..." aku mendesah kesal seolah hari ini tak berjalan baik, hampir saja aku berhasil mengambil headset, tetapi tangan lain lebih dulu meraih headset itu dan tangan ku justru mendarat ditangannya, sontak aku panik dan kantuk itu langsung menghilang begitu saja.

Dengan tak yakin aku memandang pemilik tangan itu dan rasanya aku berhenti bernafas, tanganku bergetar hebat, otak masih sulit mencerna, dada berdebar lebih keras lebih dari hari itu. Aku menyadarkan diri mungkin ini hanya mimpi yang kuminta seperti saat itu, tapi tidak ini terlalu nyata jika hanya sebuah mimpi, aku segera melepaskan diri dari tangannya.

"Sean"ucapku bergetar menyebut namanya.

Tuhan menjawab doaku meskipun tidak lewat mimpi tapi dia hadirkan orang yang jujur saja aku benar-benar merindukannya.

EKSPETASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang