Sepanjang jalan kami terdiam.
Seolah kami saling bergelut dengan fikiran kami sendiri-sendiri. Sean berada dibalik kemudi, tatapannya kosong, tak percaya apa yang baru kutunjukan beberapa saat lalu. Sean mengemudi kearah bukit dimana kami dulu sering kesana, tempat yang terakhir aku datangi sebelum meninggalkan kota ini.
Kami tiba disebuah bukit yang bisa memperlihatkan hampir seluruh bagian kota. Dulu baik aku, Sean dan Gavin sering berada disini untuk sekedar menikmati sang fajar kembali keperaduannya. Jarang ada orang yang kemari sehingga saat kami tiba, tempat itu masih sama hanya dengan beberapa pohon kering dan batu besar yang sering menjadi tempatku mengadu.
"Kenapa baru sekarang?" kata Sean tiba-tiba. Aku menoleh kearah lelaki dibelakangku yang wajahnya nampak memerah.
"Dengan keadaan Gavin?" aku menarik nafas dalam untuk menjelaskan kepada Sean. "Aku juga bingung saat itu Yan".
Sean memutar tubuhnya sehingga kami sejajar duduk diatas batu besar yang ada diatas bukit, kurapatkan kakiku mengingat pilunya yang terjadi pada Gavin saat itu.
"Jadi? kenapa? kenapa Gavin akhirnya?" ucap Sean begitu putus asa.
"Dia memilih untuk nyerah, gue udah berusaha keras buat bantu dia dengan pergi kesana kesini untuk menghambat virusnya makin nyebar, tapi itu masih belum sepadan dengan keinginan dan harapan Gavin buat terus ada Yan" air mataku keluar mengingat Gavin yang begitu terpuruk saat itu. Disaat kami seharusnya mempersiapkan Ujian masuk universitas Gavin harus berjuang keras melawan penyakitnya.
"Ini salahku Yan, semua ini bermula dari gue, andaikan Gavin nggak mentato tubuhnya mungkin Gavin masih disini, sama kita Yan" suaraku memberat, tak kuasa menahan air mataku yang mengingat Gavin begitu sengsara kala itu.
"Tato itu buat gue Yan, gue adalah orang paling tolol, kenapa nggak menyadari perasaan Gavin sehingga gue bisa nyegah dia buat lakuin hal itu, dia juga menyesal karena ngehianatin sahabat yang selalu dia percaya, itu lo Sean, kami selalu nunggu lo datang ke tempat ini sejak saat itu" tak bisa kulanjutkan kalimatku lagi, rasanya begitu sesak mengingat bagaimana hari-hari aku dan Gavin menanti kehadiran Sean yang setidaknya harus mempercayai kami.
"Lea" Sean meraih tangan ku menggenggam dan sebelah tangannya berusaha menghapus air mataku.
"Ini salah gue Le, harus nya gue dengerin dan tungguin kalian, tapi gue cuma pecundang yang lari tanpa tau yang sebenarnya" kata Sean.
"Lo nggak salah Lea, gue udah lama tau dia suka sama lo, tapi perasaan gue gak bisa dicegah, gue emang brengsek Le, nyakitin Gavin sekaligus lo, itu kenapa gue pergi karena gue ngrasa bahwa lo bakalan lebih bahagia tanpa gue, karena ada Gavin yang bakal jagain". lanjutu Sean.
"Hah, Segitu nggak percayanya sama siapa yang gue suka?" ucapku lebih tenang, tetapi dilubuk hati terdalam aku terluka dengan kata-kata Sean yang menyerah begitu saja.
"Bukannya gue nggak percaya, gue datang malam itu Le, gue gak bisa liat Gavin terluka lagi setelah apa yang keluarganya lakuin, gue gak bisa nyegah dia buat suka sama cewek yang juga gue suka Lea, gue emang brengsek tapi gue harus apa Le?"
"Andaikan gue jujur, terutama ke lo Sean" aku mengucapkan dengan penuh penyesalan.
"Allea, mungkin gue sahabat terburuk yang pernah dimiliki Gavin. Tapi, gue terimakasih sama lo selalu ada disisi Gavin, apapun keadaan dia" kata Sean dengan berusaha menghapus air matanya.
"Gavin bilang ke gue, kalau lo itu udah seperti adik bagi dia Yan, gue yang salah, harusnya gue gak pernah ada dihidup kalian"
"Enggak Lea, takdir akhirnya tetap membawa kita kesini, di tempat gue dan Gavin nemuin lo nangis disini" aku teringat pertama kali kami bisa menjadi teman.
"Gue juga udah berusaha iklas apa yang terjadi sama kita bukan keinginkan kita semua Yan, lo pernah bilangkan, kalau semesta nggak akan kecewain kita terus-terusan, dia punya alasan kenapa hal itu terjadi sama kita, jadi yang bisa kita lakuin sekarang cuma iklas" kataku.
Aku merasa tak ada yang bisa disalahkan, mau disesalipun segalanya telah berlalu yang bisa diperbaiki adalah sikap kita masing-masing.
"Gavin udah bahagia diatas sana kan Le?" tanya Sean memandang langit yag begitu cerah hari itu.
"Jawaban Gavin kayaknya sama dengan langit yang begitu cerah hari ini, gue harap Gavin jauh lebih tenang dan bahagia disana" ucapku.
"Makasih ya Lea dan maaf" aku tersenyum memandang Sean.
"Gue juga maaf baru bilang semuanya sekarang"
"Sekarang gue juga harus menebus semua kesalahan gue ke Gavin" kata Sean.
"Maksudnya"
"Gue yang harus ngelindungi lo, Allea" Sean memandangku dengan dalam, memberi tahu tanpa kata bahwa dia masih memiliki perasaan yang begitu dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSPETASI
ChickLitGara-gara kesalahan di malam pesta itu, Lea gadis yang selama ini menjadi kebangaan kehilangan seluruh kepercayaan dirinya. Hingga dia harus mengalami kehilangan banyak orang yang berati dihidupnya. Kekasih dan sahabatnya bahkan tak mempercayai Lea...