4. Tebakannya Benar

30.1K 3.7K 34
                                    

Walau agar molor, semoga kalian masih setia nunggu❤️

Happy reading!😘



🕊️🕊️🕊️



Awal mula kenapa aku bisa sampai di rumah ini dan sebentar lagi mengajar seorang anak berumur 9 tahun adalah karena bantuan Dokter Mona. Beliau adalah pemilik klinik kecantikan tempat aku bekerja sebagai resepsionis.

Dokter Mona, entah bagaimana bisa tahu aku mempunyai pekerjaan sampingan. Dan sudah dua tahun ini Dokter Mona berjasa merekomendasikanku kepada teman-temannya yang butuh jasa les privat. Walau tak selalu dibutuhkan karena kelas bimbel yang makin menjamur, aku tetap bersyukur. Setidaknya ada pemasukan yang bisa aku gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Atau untuk biaya kuliah Jihan dan Raya, seperti saat ini.

“Pita, ya?”

Beberapa saat aku terdiam menatap perempuan berkulit putih pucat di hadapanku. Seingatku, Dokter Mona bilang kalau sahabat sekaligus orang tua dari anak yang akan aku ajar, 5 tahun lebih tua darinya —Dokter Mona berumur 31 tahun. Tetapi, yang aku temukan justru wajah yang tampak sepantaran denganku.

Dokter Mona tidak mungkin menipuku, kan?

“Mbak Tiara?” tanyaku ragu. Aku masih berusaha berpikir positif. Mungkin perempuan ini adik Mbak Tiara.

“Iya. Ayo masuk!” ajaknya dengan senyum merekah.

Aku meringis saat Mbak Tiara merangkul bahuku dan menuntunku menyusuri pekarangannya yang lumayan luas.

“Kenapa enggak langsung masuk aja? Saya sengaja enggak kunci pagarnya biar kamu bisa nunggu di dalam.” Mbak Tiara melepas rangkulan kemudian mendorong pintu, mempersilakanku masuk lebih dulu.

“Enggak enak, Mbak. Ntar dikira maling sama tetangga.”

Mbak Tiara tertawa pelan. “Enggak, lah.” Lalu melangkah cepat menghampiri kursi ruang tamunya. Tangannya secepat kilat menyambar handuk dan sebuah jas putih yang tersampir di sana.

Aku bisa mengerti keadaan Mbak Tiara yang tidak bisa selalu memastikan rumahnya rapi karena tuntunan pekerjaan. Seperti Dokter Mona, Mbak Tiara juga seorang dokter. Itu kenapa mereka berdua bisa saling kenal.

“Duduk, Pit. Saya panggil Eila dulu.”

“Iya, Mbak.”

Belum lama aku duduk, Mbak Tiara kembali bersama seorang anak perempuan. Aku berdiri, berusaha mengintip karena Eila terus bersembunyi dibalik kaki mamanya.

“Eila, kenalan dulu sama Kak Pita.”

Setengah wajah Eila muncul, mungkin ingin tahu seperti apa wajah perempuan yang akan mengajarnya. Aku tersenyum dengan alis yang sedikit terangkat saat mata kami bertemu.

Sejujurnya, aku tidak begitu ahli menghadapi anak kecil. Yang aku lakukan selama ini hanya bersikap apa adanya. Aku tidak pernah memperlakukan mereka seperti anak kecil. Menurutku, itu lebih ampuh membuat mereka nyaman di dekatku.

“Ya udah, sini duduk sama Bunda.”

Eila merangkul lengan Mbak Tiara ketika kami duduk berhadap-hadapan. Mata kami hanya sesekali bertemu karena Eila lebih banyak menunduk.

Mbak Tiara menghela napas pelan. “Saya harap kamu bisa maklum sama Eila.”

Aku mengangguk menenangkan. Sebelum bertemu Eila, beberapa kali aku sudah pernah mengajar anak lain yang juga pendiam. Itu justru lebih mending daripada mengajar anak yang emosinya meledak-ledak dan tanpa sungkan melempar barang apa pun di sekitarnya. “Iya, Mbak. Enggak masalah. Itu sudah tugas saya.”

Simbiosis Romantisme [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang