Ini pertama kalinya saat aku membuka pintu, tidak ada yang menyambutku sepulang kerja. Biasanya ada Ibu dengan senyum lembutnya. Atau Raya dan Jihan yang tengah duduk di depan TV, kemudian salah satu dari mereka akan menepuk kursi di sampingnya. Memintaku duduk sejenak. Aku tersenyum pahit sambil melangkah ke dalam rumah. Baru sehari saja, aku sudah merindukan Ibu dan dua adikku.
Apa yang sedang mereka lakukan? Apa mereka baik-baik saja? Apa mereka merindukanku, sama seperti aku merindukan mereka? Aku menghempaskan tubuhku di kursi ruang tamu bersama kantong belanjaanku. Aku sangat ingin menghubungi mereka namun ingat harus memasak makan malam untuk Pras yang mungkin sebentar lagi pulang. Akhirnya aku mengurungkan niatku dan masuk ke kamar. Membersihkan diri lalu mulai memasak.
Hampir sejam memasak sekaligus menata hasil masakanku di atas meja, belum ada tanda-tanda Pras pulang. Ia juga tidak menghubungiku jika memang hari ini harus lembur. Aku berpindah ke ruang tamu, bersantai sembari menunggunya pulang. Dan mendadak kembali mengingat Ibu. Karena tidak sedang melakukan apa pun, aku mengirim pesan pada Raya. Menanyakan keadaan Ibu. Sebenarnya, aku bisa saja langsung menghubungi Ibu. Namun, Ibu jarang memegang ponselnya. Raya bilang, ponsel Ibu itu cuma pajangan.
Tidak lama, Raya menghubungiku.
“Halo, Kak!”
“Kamu ngapain?”
“Nyantai aja, Kak. Kenapa?”
“Ibu mana?”
“Oh, Ibu tidur, Kak. Tadi habis makan katanya ngantuk banget jadi masuk kamar.”
Ujung bibirku sedikit terangkat. Lega rasanya mendengar jawaban Raya. "Ibu baik-baik aja, kan?”
“Iya, Kakak tenang aja. Kan, ada Raya yang jagain Ibu. Kakak, gimana?”
“Baik. Kakak ipar kamu baik kok.”
“Kalau itu sih aku juga tau. Ibu enggak mungkin setuju seandainya kakak ipar enggak baik buat Kakak. Eh, Kak, tau enggak?”
“Enggak tau,” sahutku diakhiri tawa ringan.
“Kemarin kan aku post foto Kakak sama Kak Pras, masa banyak temen aku yang muji Kak Pras ganteng.”
“Kan, emang ganteng.”
“Iya, maksud aku tuh enggak usah terang-terangan gitu.”
“Ya enggak apa-apa. Selama mereka enggak niat godain suami orang.”
“Pasti Kak Pras banyak yang naksir. Iya, kan, Kak?”
Kalau diingat-ingat, cuma perempuan yang mencakar wajahku waktu itu yang aku tahu ada di sekitar Pras. Aku tidak menanyakan dan Pras juga tidak mungkin mendadak menceritakannya padaku. Mungkin ia punya prinsip yang sama denganku. Masa lalu semacam itu tidak penting dikenang atau diceritakan. Sibuk melamun sendiri, aku tersentak saat pintu tiba-tiba terbuka. Itu Pras namun yang membuatku terkejut karena tidak mendengar suara mobilnya.
“Maaf. Kamu kaget, ya?”
“Kak?”
“Oh, Ray. Udah dulu ya, Kakak mau makan.” Tanpa menunggu jawaban Raya, aku memutuskan sambungan telepon.
“Iya, lumayan,” kataku sambil menghampirinya.
“Mobil aku taruh di rumahnya Kak Tiara terus jalan ke sini, makanya enggak kedengaran.”
Mataku lalu jatuh pada kresek yang menggantung di tangannya. “Itu apa?”
“Makan malam.”
“Hah?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Simbiosis Romantisme [TAMAT]
RomancePita butuh seseorang yang bisa membantu memperbaiki ekonomi keluarganya. Dan Pras memenuhi syarat itu. Karenanya, Pita berani menerima lamaran Pras -dibanding menunggu Bara yang beberapa bulan ini dekat dengannya. Pita telah merencanakannya matang-m...