12. Berniat Serius

24.8K 3.4K 66
                                    

Molor sehari ehehe.
Maafkan daku❤️




🕊️🕊️🕊️




“Kak Pita?”

Akrab dengan suara barusan, aku langsung menggeser posisi agar menjauh dari Pras. Aku menyikap tudung jaket, untungnya air mataku sudah kering.

Raya menatapku dan Pras bergantian dengan alis terangkat. Iya, wajar saja Raya kaget. Sejak kuliah, aku memang tidak lagi berminat menjalin hubungan percintaan. Sementara Bara, aku merasa tak ada yang perlu diceritakan pada Ibu maupun dua adikku. Kedekatanku dengan Bara tak berarti aku serius.

“Aku cariin Kakak dari tadi.”

“Kamu tau dari mana Kakak udah nyampe?” Aku bangkit dan mendekat ke Raya.

“Dokter yang tadi periksa Ibu, dia bilang udah ngomong kondisinya Ibu sama anaknya. Kalau bukan Kak Pita siapa lagi?” balas Raya lalu melirik  Pras yang sepertinya masih duduk di belakangku. “Kakak enggak mau lihat Ibu?” Raya beralih menatapku.

Aku mengangguk. “Mau, kamu duluan aja.”

“Temen Kakak enggak diajak sekalian?” bisik Raya.

Takut Pras mendengarnya, aku membekap mulut Raya. “Kamu duluan, nanti aku nyusul.”

Saat tangan kuturunkan, ternyata Raya tersenyum dibaliknya. “Iya.”

Dirasa sudah cukup jauh dan Raya tidak mungkin menangkap percakapanku dan Pras, aku berbalik. Hampir saja aku terjungkal saking terkejutnya mendapati Pras berdiri tak jauh dariku.

Tangan Pras spontan terulur namun segera ia tarik kembali. “Kenapa?”

“Kaget.”

Mengerti maksudku, Pras mengambil dua langkah ke belakang. “Oh, maaf.”

“Enggak apa-apa.”

Jeda sejenak sebelum aku melanjutkan, “Emm, itu, makasih udah nganter gue. Enggak seharusnya gue repotin lo kayak gini. Sekalian mau pamit, lihat Ibu.”

“Iya, gue juga harus pulang sekarang. Ini,” Pras menyerahkan kunci motor padaku.

“Sekali lagi makasih. Oh!” Mendadak aku ingat jaket yang melekat di tubuhku, “Astaga, jaketnya!”

“Enggak usah! Pake aja, lo bisa kembaliin besok atau Minggu depan,” cegah Pras.

“Tapi—"

“Enggak.”

“Jaket ini u—"

“Enggak apa-apa.”

“Oke,” kataku pasrah. “Kalau gitu gue duluan.”

Aku berbalik setelah menerima anggukan darinya. Lalu, berlari kecil menghampiri Raya. Sekarang, yang perlu aku lakukan adalah berpura-pura baik-baik saja di depan Ibu. Sepanjang jalan menuju ruang IGD, aku melatih ujung bibirku melengkung agar tidak kaku nantinya.

Sesampainya di sana, aku melihat Ibu sedang duduk dengan botol di tangannya. Cepat-cepat aku merebut botol, membukanya, dan membantu Ibu meneguknya.

“Tangan Ibu enggak sakit kok,” kata Ibu setelah aku mengembalikan botol ke nakas.

“Biar Ibu enggak banyak gerak.”

“Ibu,” Raya duduk di kursi samping tempat tidur dan memijit lengan Ibu, “Tadi, Kak Pita bareng cowok yang waktu itu ke rumah.”

Ibu menatapku dan Raya bergantian. Aku yang bingung dengan perkataan Raya barusan mengernyit minta penjelasan. Ibu masih diam, seakan sedang menimbang-nimbang sesuatu.

“Siapa yang ke rumah?” Aku tahu ini pertanyaan paling bodoh. Satu-satunya orang yang Raya lihat bersamaku hanya Pras tapi rasanya tidak mungkin laki-laki itu datang ke rumahku. Dia tidak punya alasan masuk akal.

Ibu pun tak langsung menjawab, Ibu malah meminta Raya keluar membeli jus kemasan. Baru setelah itu, Ibu menepuk sisi ranjang dan memintaku duduk di sana. “Ibu mau ngomong.”

“Ibu kenal Pras?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Emm,” Ibu menarik sebelah tanganku dan menggenggamnya. “Ibu enggak kenal tapi jadi kenal pas dia ke rumah.”

Baiklah. Sekarang aku malah tambah bingung karena Ibu membenarkan perkataan Raya. “Dia ngapain ke rumah?”

“Sebelum itu, Ibu mau tanya sesuatu sama kamu.”

Aku mengangguk, membiarkan Ibu melanjutkan.

“Kamu enggak lagi dekat kan sama orang?”

“Cowok?” tanyaku memastikan.

“Iya.”

Wajah Bara langsung muncul di kepalaku. “Dekat sebagai teman, mungkin. Kenapa, Bu?” tanyaku semakin curiga.

“Sebenarnya, Pras pernah ke rumah. Dua atau tiga minggu lalu mungkin.”

Mati-matian aku menahan mulutku yang ingin menyela Ibu. Pras? Astaga, jika itu Bara mungkin aku tidak akan sekaget ini.

“Dia mau serius sama kamu dan minta izin sama Ibu,” Ibu mengusap-usap tanganku sembari terus bercerita. “Awalnya Ibu enggak percaya karena kamu enggak pernah cerita lagi dekat sama orang. Akhirnya Ibu tanya-tanya, ternyata kalian memang enggak dekat. Cuma sebatas kenal, kan?”

Aku mengangguk pelan dalam diam.

“Dia bilang enggak mau ajak kamu pacaran. Tapi lebih ke arah yang serius. Sebenarnya, Pras minta Ibu jangan cerita dulu ke kamu,” Ibu tertawa kecil. “Eh, Raya malah bocor.”

Rasanya seperti mimpi. Iya, begitulah yang aku rasakan. Seorang Pras. Laki-laki yang hanya beberapa kali bertemu dan dia berniat menjalin hubungan serius denganku? Saking tidak percayanya, aku sampai tak sanggup berkata-kata. Apalagi kami baru saja bertemu.

“Kalau menurut kamu dia baik, enggak ada salahnya untuk kenal Pras. Ibu cuma saran, enggak maksa karena semua pilihan kamu yang putuskan. Kamu yang jalani nantinya, kamu yang rasakan, jadi Ibu enggak akan ikut campur.”

Aku menggeleng lemah. “Prioritas aku sekarang tuh Ibu, Jihan sama Raya. Enggak ada pikiran ke sana.”

“Pita,” Ibu mengusap rambutku pelan, “Ibu bukan prioritas siapa-siapa.”

Aku menunduk dalam saat mataku mendadak panas.

“Kamu tau enggak? Ibu selalu merasa bersalah setiap lihat kamu berangkat kerja, pulang kerja, apalagi kalau kamu bantu Ibu. Padahal sebenarnya kamu capek, kan?” Suara Ibu mulai bergetar. Aku pun susah payah menahan tangis.

“Ibu mau lihat kamu sesekali mikirin diri sendiri. Jangan selalu lihat Ibu, Jihan atau Raya. Coba lihat, siapa tau ada orang yang mau bahagiain kamu. Tapi, Ibu, Jihan, Raya selalu jadi penghalang mereka.”

Ibu benar. Ada beberapa laki-laki yang ingin menjalin hubungan denganku. Tetapi untuk bagian Ibu, Jihan, dan Raya menjadi penghalang sama sekali tidak benar. Aku membentengi diriku atas kemauanku sendiri.

“Ya udah, nanti Pita pikirin,” sahutku sekadar untuk menghibur Ibu. Dan benar, Ibu tersenyum lebar. Dengan keadaan Ibu yang lemah, aku hanya ingin mengiyakan semua perkataannya tanpa membantah.

“Ibu!” Raya tiba-tiba muncul. Untungnya, percakapan kami telah selesai. “Kata susternya, Ibu disuruh siap-siap buat pindah ruangan.”

Ibu menghela napas. “Pita, Ibu bisa pulang sekarang kok. Enggak usah nginap.”

Aku mengerjap dua kali. Dari aku turun dari motor hingga duduk di sini bersama Ibu, aku belum lewat atau bahkan mengunjungi bagian administrasi. “Pita enggak tau apa-apa, Bu.”

“Ibu,” Raya menyela. “Bukan Kak Pita. Tadi waktu Raya tanya, katanya cowok. Keluarganya Ibu. Tapi, kalau Raya tebak kayaknya Kak Pras bukan sih?”


🕊️🕊️🕊️

Simbiosis Romantisme [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang