13 | Opsi Ketiga

24.1K 3.3K 43
                                    

Happy reading❤️




🕊️🕊️🕊️



Berkat tebakan Raya, aku menjadi gelisah.

Pertama, bagaimana caranya mengembalikan uang yang sudah Pras keluarkan? Aku tidak tahu kontaknya. Sebenarnya, ada pilihan lain. Yaitu memintanya pada Mbak Tiara. Tapi, bukankah itu malah menimbulkan pertanyaan? Aku tidak mau itu terjadi. Jika menunggu besok, belum tentu aku bertemu dengannya. Minggu depan? Terlalu lama. Aku tidak suka berutang. Apalagi pada orang yang belum terlalu kukenal.

Kedua, kalaupun aku bertemu Pras. Bagaimana aku menghadapinya sementara aku sudah terlanjur tahu perasaan dan.. niatnya.

Aku mendesah sambil menggeleng keras untuk melenyapkan Pras dari kepalaku. Banyak hal yang lebih penting yang mesti aku pikirkan. Karena terlalu serius, aku sampai tidak sadar telah sampai di rumah. Aku memarkirkan motor dan segera turun.

Karena Ibu akhirnya setuju setelah dibujuk cukup lama agar dirawat selama beberapa hari. Jadi aku pulang mengepak baju ganti untuk Ibu. Tanganku telah siap mendorong pintu namun seseorang lebih dulu menariknya.

“Kak,” gumam Jihan.

Mataku turun memandang tas jinjing di tangan Jihan. “Kamu mau ke mana?”

“Ini baju Ibu. Tadi aku telepon Ibu karena enggak ada siapa-siapa di rumah. Jadi, Ibu minta bawa baju terus tunggu Kakak. Ibu beneran enggak apa-apa, kan, Kak?”

“Untuk saat ini enggak, tapi kalau Ibu kecapean hal kayak gini bisa kejadian lagi.”

Jihan mengalihkan pandangannya dan bergumam sesuatu yang masih bisa kudengar, “Ibu enggak boleh kerja lagi.”

Tetapi, aku pura-pura tidak mendengarnya dan mengambil tas dari tangan Jihan. “Udah makan, kan? Kita berangkat sekarang?”

Baru saja aku hendak berbalik namun Jihan dengan cepat menahan tanganku. “Kak!”

Entah bagaimana aku seperti sudah bisa menebak apa yang ingin Jihan katakan. Dan, jujur aku tidak ingin mendengarnya.

“Izinin aku kerja, Kak,” mohon Jihan. “Please.”

Tebakanku tepat sasaran.

“Aku sayang sama Ibu, Kak. Aku enggak mau liat Ibu pingsan atau sakit lagi.”

Aku kembali menatap Jihan. “Aku juga enggak mau, Han.”

“Kalau gitu izinin aku, Kak!”

Seingatku, dulu saat keadaan keluargaku baik-baik saja. Aku tidak sesayang ini pada Jihan dan Raya. Kami jarang bahkan nyaris tak pernah duduk santai dan saling menceritakan hal-hal yang terjadi hari itu. Seiring bertambahnya usia, aku mulai dekat dan sering berbagi cerita dengan mereka berdua. Tanpa aku sadari, rasa sayang yang mungkin selama ini ada di hatiku akhirnya bisa aku mengerti.

Itu kenapa aku tidak rela melihat Jihan ikut menanggung beban yang belum tentu bisa ia pikul.

Disisi lain, aku tidak punya banyak pilihan untuk saat ini. Cuma ada dua. Membiarkan Ibu tetap bekerja atau mengizinkan Jihan yang bekerja. Sebenarnya aku punya opsi ketiga, biar aku yang bekerja. Tetapi, tidak ada jaminan hidup kami bisa bertahan beberapa bulan ke depan.

“Kak,” desak Jihan

Aku menunduk, menimbangnya sekali lagi.

“Aku janji ini enggak akan ganggu kuliahku, Kak.” Jihan menatapku penuh harap. Iya, berharap diizinkan detik ini juga.

Dengan berat hati, aku mengangguk. Tapi, dalam hati aku bertekad menemukan opsi lain. Secepatnya.

🕊️🕊️

Simbiosis Romantisme [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang