Pita Pras balik lagi!
Happy reading❤️
🕊️🕊️🕊️
Sekali lagi aku memutar kursi yang kududuki dan melihat jam dinding. Jam lima lewat dua puluh menit. Itu artinya, jam kerjaku telah selesai sejak sejam yang lalu. Tanpa sadar aku mengembuskan napas panjang, harusnya jam segini aku sudah mandi dan mulai menyiapkan makan malam.
Tetapi, aku malah tertahan karena di dalam sana masih ada pasien Dokter Mona. Namanya Bu Asti namun beliau lebih suka dipanggil Mami oleh orang-orang di klinik. Sejak klinik ini dibuka, Mami adalah pelanggan tetap. Satu kali pun, Mami tidak pernah absen konsultasi atau melakukan treatment. Tidak ada yang bisa beliau percaya merawat wajah sebening porselennya kecuali Dokter Mona.
Untuk urusan pergosipan, Mami juga percaya pada Dokter Mona. Itu kenapa, selesai konsultasi atau treatment, mereka berdua bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Aku bisa membayangkan bagaimana wajah lesu Dokter Mona mendengar cerita Mami yang seakan tidak ada habisnya. Aku saja yang pernah menemani Mami setengah jam, hampir putus asa dan meninggalkannya.
Ponsel yang kuletakkan di atas meja tiba-tiba bergetar, membuat bayangan tentang Mami menghilang. Dari Raya.
“Halo, Ray?”
“Kakak kok belum pulang?”
To the point sekali anak ini. “Masih ada pasien. Kayaknya Kakak sampainya jam tujuhan deh.”
“Tumben, Kak.”
“Iya. Pasiennya yang tumben milih jadwal sore.”
Khusus Mami, Dokter Mona selalu mengingatkanku untuk memilih jadwal pagi atau siang. Supaya Dokter Mona bisa menjadikan pasien berikutnya sebagai alasan agar tidak terjebak bersama Mami. Sayangnya hari ini, kami kurang beruntung.
“Hmm, ya udah.”
“Jangan suruh Ibu masak, ya? Kamu aja sama Jihan.”
“Kalau bantuin dikit?”
Aku mengernyit. “Jangan ngerepotin Ibu.”
“Kak Jihan belum pulang, Kak. Lama kalau enggak dibantu Ibu.”
“Belum pulang kuliah?”
“Kata Ibu, udah pulang tadi sore. Tapi, keluar lagi.”
“Dia enggak bilang mau ke mana?” tanyaku lagi. Tidak biasanya Jihan keluar tanpa pamit. Karena aku selalu mengingatkannya untuk memberi tahu tujuannya pada orang rumah sebelum pergi.
“Enggak. Ibu lagi mandi pas Kak Jihan pulang.”
“Ya udah, tapi jangan sampai yang lebih banyak ngerjain Ibu.”
“Iyaaa,” balas Raya kemudian sambungan telepon terputus.
Sambil terus memikirkan Jihan yang pergi entah ke mana, aku mencari kontaknya dan segera menghubunginya. Panggilan pertama, tidak dijawab. Panggilan kedua juga sama. Belum menyerah, aku kembali menghubunginya namun harus aku akhiri ketika pintu masuk terbuka.
Aku melepas ponsel dari tanganku lalu berdiri. “Selamat sore, ada yang bisa.. saya bantu?”
“Pita?”
Laki-laki barusan tersenyum cerah sambil tetap melangkah ke arahku. “Lo kerja di sini?”
“Menurut Anda? Kalau bukan kerja, ngapain gue di sini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Simbiosis Romantisme [TAMAT]
RomancePita butuh seseorang yang bisa membantu memperbaiki ekonomi keluarganya. Dan Pras memenuhi syarat itu. Karenanya, Pita berani menerima lamaran Pras -dibanding menunggu Bara yang beberapa bulan ini dekat dengannya. Pita telah merencanakannya matang-m...