16 | After Wedding

27.7K 3.4K 47
                                    

“Selamat, ya. Gue pikir lo bakal nikah sama Bara loh, soalnya kalian sempet dekat, kan?”

Meski diucapkan dengan senyum, aku tahu niat Kiki sebenarnya adalah menyindirku. Tapi, aku berusaha untuk tetap tersenyum sampai tiba-tiba Kiki terdorong menjauh.

“Jangan ngobrol lama-lama, banyak yang ngantri noh!” sembur Ita. Ini dia pelaku yang menyebabkan Kiki si tukang gosip hampir tersungkur.

Kiki mencebik sebelum turun dari panggung. Kalau diingat-ingat, pantas saja tatapan teman SMP-ku agak berbeda. Mereka mungkin menjadikanku perempuan jahat dan Bara korbannya. Padahal mereka bahkan tidak tahu menahu hubunganku dan Bara seperti apa.

“Jangan dengerin, Pit. Dia tuh iri lo dapat suami ganteng, sementara dia dapatnya cowok spek jamet,” hibur Ita.

Walau tidak begitu menyakitkan tapi tetap saja aku tetap memikirkannya. Bahkan sampai pesta usai dan aku baru sadar ketika seseorang tiba-tiba duduk di sampingku.

“Kenapa?” tanya Pras sambil menggosok-gosok rambut basahnya dengan handuk. Sebelah tangannya lalu menyambar remote di atas meja dan menyalakan TV.

Aku sedikit bergeser lalu menggeleng, tak ingin membaginya dengan siapa pun.

“Udah terlambat kalau kamu nyesel sekarang,” goda Pras dan kubalas senyum tipis.

Aku menyandarkan punggungku, mengambil bantal sofa dan memeluknya. “Ini keputusan paling benar yang aku ambil.”

Jari telunjuknya berhenti menekan tombol diremote dan menoleh ke arahku. “Sama,” katanya sambil tersenyum.

Pras sepertinya tak ada niat memutus netra jadi aku memutuskan mengalihkan pandangan darinya. Walau hanya iklan yang ada dilayar TV, kurasa itu jauh lebih baik daripada beradu tatap dengan Pras. Bukan karena berdebar, rasanya agak canggung. Status kami bukan lagi sekadar laki-laki dan perempuan yang dekat, tetapi suami-istri.

“Kamu enggak mandi?” Suara Pras terdengar setelah beberapa saat.

Aku menengok ke belakang lalu bertanya, “Bintang mana?”

“Kenapa?”

“Aku mau mandi di kamarnya kalau dia belum pulang.”

Saat Bintang tahu aku dan Pras berniat menjalin hubungan serius, Bintang senang bukan main. Sampai sering mengajakku ke rumah ini setelah selesai mengajar Eila. Jadi, aku sudah tahu seluk beluk rumah yang ditinggali Pras dan Bintang ini.

Kamar di lantai satu adalah kamar paling luas dan memiliki kamar mandi di dalamnya. Dulunya kamar itu di tempati orang tua Pras dan Bintang. Sementara dua kamar di lantai dua adalah milik Pras dan Kak Tiara. Kamar mandinya ada di luar, memisahkan dua kamar. Pras masih menempatinya, sedang kamar Kak Tiara telah beralih fungsi menjadi gudang sejak sang pemilik menikah.

“Masuk aja, malam ini Bintang nginap di rumah Kak Tiara.”

Bintang pasti mengira aku dan kakaknya akan melakukan “itu” jadi dia memutuskan mengungsi. Padahal seminggu sebelum acara, kami telah membicarakan hal ini.

Pras sendiri yang memulai dan aku bersyukur dia mengerti. Katanya, setelah menikah aku tidak perlu terbebani dengan tugas seorang istri. Anggap saja pernikahan kita adalah awal saling mengenal dan menumbuhkan perasaan. Tetapi, bagiku. Perkataannya justru semakin membebaniku.

“Kalau gitu, malam ini aku boleh tidur di kamarnya Bintang?”

“Emm, boleh.” Pras langsung berdiri. Menghampiri dua koper di dekat pintu masuk dan mendorongnya. “Aku bawa ke atas.”

Simbiosis Romantisme [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang