11. Cry, if you want to

25.9K 3.3K 48
                                    


Now Playing | Crying Out - D.O



🕊️🕊️🕊️




Selama tiga hari, tak ada yang tahu Jihan pernah bekerja. Aku sengaja menyembunyikannya dari Raya dan terutama Ibu. Jika Ibu mengetahuinya, itu hanya akan membuatnya semakin bersalah.

Untungnya, meski waktu itu sempat bertengkar, Jihan masih mendengarku. Ia benar-benar berhenti tapi, konsekuensinya Jihan mendiamiku. Bahkan sampai hari ini. Aku sengaja melewati kamarnya dan melihat punggungnya yang tengah berbaring, sekadar ingin tahu apa ia baik-baik saja. Setelah mengetahui jawabannya, aku menghampiri Ibu sebelum berangkat mengajar.

“Istirahat dulu. Ibu pucat lagi tuh.” Dibanding mengingatkan, kata-kataku barusan lebih cocok masuk ke dalam kategori memerintah.

Tanpa menoleh ke arahku, Ibu menyahut, “Sebentar. Yang ini nanggung, sisa sedikit lagi.”

“Sejam yang lalu Ibu juga ngomong gitu.”

“Iya, iya. Kali ini Ibu serius, sepuluh menit lagi,” kata Ibu mendorong kacamatanya yang agak melorot.

Kalau sudah di depan mesin jahitnya, kata-kata Ibu tidak ada yang bisa dipercaya. Kadang aku harus menunggu dan memastikannya sendiri agar Ibu benar-benar istirahat setelah ini. Tetapi, kali ini aku tidak bisa. Hari ini Sabtu dan aku mesti berangkat untuk mengajar Eila.

“Janji, ya? Sepuluh menit.” Aku mengingatkan Ibu lagi.

“Iya.”

“Kalau gitu Pita pamit, Bu.” Aku menarik tangan Ibu dan menyalaminya.

“Hati-hati.”

Sebelum menutup rapat pintu, aku sempat menatap Ibu sebentar. Rasanya ada yang mengganjal. Seakan-akan aku melupakan sesuatu tapi semua barang yang aku butuhkan ada di dalam tas.

Aku menggeleng pelan, berusaha mengenyahkan perasaan itu dan menutup pintu.

***

Terakhir aku bertemu Pras saat ia mengantarku saat hujan turun. Jaketnya juga sudah kutitipkan pada Mbak Tiara waktu itu. Jadi, melihatnya setelah sekian lama cukup membuatku terkejut.

“Apa kabar?” tanya Pras menggeser posisinya agar aku bisa masuk.

“Baik,” jawabku mendongak sebentar dengan senyum tipis.

“Hmm,” Pras manggut-manggut sambil terus melangkah hingga ia berhenti. “Masuk aja, Eila udah nunggu. Kalau lo butuh apa-apa, gue ada di situ,” katanya menunjuk kursi di ruang tamu.

“Iya.”

Sekali lagi aku melempar senyum tipis sebelum masuk ke kamar Eila. Di dalam, Eila menyambutku dengan senyum hangat. Iya, tidak ada rasa canggung di antara kami berdua. Meskipun Eila belum banyak bicara padaku.

Materi yang aku sampaikan lancar seperti biasa. Semua tampak tenang dan terkendali. Namun, getar ponselku langsung membungkam mulutku. Dari Raya. Jantungku mendadak berdegup dua kali lebih cepat. Pasti ada sesuatu yang penting sampai Raya menghubungi disela-sela kegiatan mengajarku.

“Kak Pita boleh angkat telepon dulu enggak?” tanyaku pada Eila dan langsung dibalas anggukan.

Aku menelan salivaku dengan susah payah lalu menempelkan ponsel ke telingaku. Belum sempat aku mengucap kata ‘halo', Raya lebih dulu menyela.

Kak!” panggilnya diikuti isak tangis.

Pikiran buruk mulai memenuhi kepalaku. Yang paling kutakutkan adalah Ibu. Aku meninggalkan rumah saat kutahu Ibu tengah pucat dan masih terus bekerja. Aku berusaha mengatur nafasku yang tiba-tiba kehilangan iramanya.

Simbiosis Romantisme [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang