Maaf ya kemarin aku enggak jadi upload karena ada 'sesuatu'
Happy reading ❤️
🕊️🕊️🕊️
Pagi ini aku dikejutkan oleh penampakan bahu Pras yang lebam hasil pukulanku kemarin. Aku meringis melihat warnanya yang mengungu bercampur hitam. Aku pernah mendapat lebam semacam itu ditubuhku dan rasanya tidak perlu ditanya. Belum lagi butuh beberapa minggu agar warna kulit kembali normal.
“Mau aku bantuin?” tanyaku dengan kepala menyembul ke dalam kamar. Karena kulihat Pras kesulitan mengenakan pakaiannya.
Pras menatapku dari pantulan cermin di depannya. “Kalau kamu enggak keberatan.”
Aku menutup pintu dan menghampirinya sambil berkata, “Ini namanya tanggung jawab.” Lalu mengambil kaus yang dipegangnya.
Berhadapan dengannya dalam keadaan bertelanjang dada secara otomatis mengingatkanku pada kejadian kemarin. Saat bibir kami nyaris bertemu. Suasananya memang mendukung tapi tempatnya salah. Aku memejamkan mata sebentar untuk mengusir bayangan kemarin kemudian membantu Pras memakai kausnya.
“Tangan kirinya enggak usah digerakin,” cegahku.
Aman. Pras tidak lagi telanjang. Walau sebenarnya Pras bisa saja memakai kemejanya seorang diri tapi kepalang tanggung, biar aku yang memakaikannya sekalian. Satu kancing kukaitkan lalu suara Pras memecah keheningan.
“Pita.”
Aku mendongak. Namun Pras tak kunjung bicara. “Kenapa?”
“Aku mau cium kamu.”
Mataku mengerjap dua kali. Aku tidak salah dengar, kan? Pras barusan bilang cium? Segamblang ini?
Pras mendesah. “Yang kemarin enggak jadi, makanya harus dilanjut.”
Aku menunduk, mengancing kemejanya hingga selesai. Sekaligus menyembunyikan wajahku yang menampakkan perasaan tersipu. “Kalau aku enggak mau?”
Pras mengendikan bahu. “Berarti aku mesti sabar lagi.”
Semalam bibirnya mendekat tanpa izin terlebih dahulu, pagi ini malah minta izin. Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Bisa ya berubah secepat itu.
Tak sanggup melihat wajahnya yang tampak kecewa, kedua tanganku terangkat menangkup pipinya. Wah, tanganku jadi kecil ketika menempel di wajahnya. Aku tersenyum padanya, menjinjit lalu mempertemukan bibir kami. Dibanding ciuman, ini lebih cocok disebut kecupan.
Lelah menjinjit, aku memutuskan menjauh namun tangan Pras malah melingkar di pinggangku dan menarikku kembali. “Harusnya aku yang mulai.”
Belum sempat bertanya apa maksudnya, Pras memiringkan kepala dan.. bibir kami berjumpa lagi. Meski hanya menempel, kali ini cukup lama hingga tanganku terangkat memegang bahunya sebagai pegangan karena kakiku mulai sakit.
“Arghh!”
Bahunya astaga! Ringisan Pras barusan segera menyadarkanku. Aku cepat-cepat melepas tanganku dan mengusap bahunya lembut.
“Pras, maaf.” Aku mendongak, ingin memeriksa seberapa sakit dari ekspresi wajahnya. Tapi yang kutemukan, Pras tersenyum.
“Ini beneran sakit apa boongan sih?” semburku.
“Sakit, Pit.”
“Terus kenapa senyum-senyum?”
“Muka kamu kalau panik lucu banget.”
Padahal tadi aku benar-benar panik karena memegang bahunya cukup kuat. Untung aku masih punya hati nurani, kalau tidak sudah kupukul lebamnya. Aku mendengus lalu melepas sebelah tangannya yang masih bertahan di pinggangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simbiosis Romantisme [TAMAT]
RomancePita butuh seseorang yang bisa membantu memperbaiki ekonomi keluarganya. Dan Pras memenuhi syarat itu. Karenanya, Pita berani menerima lamaran Pras -dibanding menunggu Bara yang beberapa bulan ini dekat dengannya. Pita telah merencanakannya matang-m...