Happy reading❤️
🕊️🕊️🕊️
Dari penjelasan yang Mbak Tiara berikan, sepertinya benar kalau ini rumahnya. Pagar coklat, rumah tingkat dua, dan garasi yang langsung terlihat dari luar. Tapi, dari luar rumahnya terlihat sangat sepi padahal Mbak Tiara yakin Pras ada di rumah.
Tanganku baru saja ingin mendorong pagar ketika motor terdengar berhenti di belakangku. Aku menarik tanganku dan berbalik. Dilihat dari jaket dan kantung kresek yang tergantung di bagian motornya, tanpa bertanya pun aku sudah tahu.
Laki-laki itu mengutak-atik ponsel di dekat spidometernya lalu mengangkat pandangannya. “Dengan Mbak Pras?”
Aku meringis sambil menggeleng.
“Maaf, Mbak. Tapi Mbak keluarganya, ya?” Laki-laki itu menyerahkan kantong kresek padaku tanpa menunggu jawabanku dariku. “Ini pesanannya Mas Pras.”
Sebenarnya aku ingin menolak, tapi makanan ini sudah terlanjur kuterima. Aku menghela napas, lagi pula aku memang ingin bertemu Pras jadi sekalian saja. Akhirnya aku mengangguk.
“Bintang lima ya, Mbak,” katanya sebelum melaju pergi.
Tanpa pikir lagi, aku masuk dan mengetuk pintu. Ketukan pertama, belum ada jawaban atau suara dalam sana. Pintu kuketuk lagi, kali ini lebih keras. Masih hening. Seandainya tadi aku tidak bertemu ojol barusan, mungkin aku akan pulang karena mengira tidak ada orang.
Akhirnya aku menghubungi Mbak Tiara. Siapa tahu Pras baru saja keluar dan Mbak Tiara tidak tahu. “Halo, Mbak?”
“Pita, kenapa?”
“Kayaknya di rumah enggak ada orang, Mbak.”
“Masa sih?”
“Iya, Mbak.”
“Dia di dalam itu. Pasti lagi tidur, dia enggak pernah keluar rumah pas libur. Bentar, biar aku telepon dia.”
Mbak Tiara tidak menunggu balasan dan langsung memutus sambungan telepon. Sembari menunggu, aku duduk di kursi gantung berbahan rotan di teras dan menaruh makanan pesanan Pras di pangkuanku.
Mungkin tak cukup lima menit, samar-samar aku mendengar derap langkah cepat di dalam namun mendadak berubah jadi gaduh. Aku mendengar barang jatuh diikuti erangan kesakitan. Tapi, aku memilih diam di tempat dan menulikan telinga.
“Pita?”
Aku turun dari kursi dan mendapati Pras sudah ada diambang pintu. Sedang menyisir rambutnya dengan jari-jarinya. Tapi, mataku justru jatuh pada kaki kirinya yang sedikit terangkat. Mungkinkah akibat dari benda jatuh tadi?
“Kaki lo kenapa?” tanyaku basa-basi.
“Kesemutan.”
“Oh ...”
“Sori, tadi gue tidur jadi enggak dengar.”
Aku menggeleng. “Enggak apa-apa. Oh, iya. Ini.” Aku menyerahkan pesanannya pada sang pemilik.
Dengan kening berkerut, Pras tetap menerimanya. “Ini apa? Lo bawain buat gue?”
“Katanya, jangan lupa bintang limanya,” kataku menirukan driver tadi.
Pras menahan senyumnya lalu mengusap tengkuknya. “Ah, orderan gue ternyata.”
Mataku yang tadinya saling beradu dengannya, beralih pada telinganya. Jujur, aku sedikit terkejut. Ini pertama kalinya aku melihat telinga seseorang memerah karena malu. Tadinya hanya cuping namun dalam waktu singkat menjalar ke seluruh bagian daun telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simbiosis Romantisme [TAMAT]
RomancePita butuh seseorang yang bisa membantu memperbaiki ekonomi keluarganya. Dan Pras memenuhi syarat itu. Karenanya, Pita berani menerima lamaran Pras -dibanding menunggu Bara yang beberapa bulan ini dekat dengannya. Pita telah merencanakannya matang-m...