Sad reading💔
🕊️🕊️🕊️
Sepulang dari rumah sakit, aku kembali ke klinik walau Kak Tiara memintaku pulang. Untungnya aku masih bisa mengontrol air mukaku depan Dokter Mona dan mengaku baik-baik saja. Lebih baik aku di sini. Jika aku di rumah, rasa bersalah pada Pras justru makin menjadi.
Bahkan ketika jam pulang tiba, aku menawarkan diri mengunci klinik agar aku punya tempat sendiri. Memikirkan banyak hal dalam keadaan hening. Di sini pun aku bisa menangis, menumpahkan sesak di dada tanpa ada yang melihat. Aku ingin mengeluarkan semuanya, dengan begitu aku bisa menghadapi Pras
Beralaskan kedua tangan, aku menidurkan kepalaku di atas meja. Aku hanya ingin mengistirahatkan mataku yang perih dan mulai berat. Sebentar saja. Dan mungkin dengan tidur beberapa menit, perasaanku bisa lebih baik.
Mungkin.
Mataku belum lama terpejam ketika getar ponsel membangunkanku. Dari Pras. Namun yang membuatku terkejut adalah jam dilayar. Pukul delapan malam, hampir dua jam aku tertidur. Aku terpaksa mengabaikan telepon dari Pras, menyambar tasku, dan bergegas keluar.
Lampu teras menyala namun saat aku mendorong pintu, di dalam rumah malah gelap gulita. “Pras?” Aku berbalik dan melihat motornya terparkir. Tidak mendengar sahutan, aku berganti memanggil Bintang. Tetap tak ada sahutan.
“Pras?” Cahaya dari dapur menarik perhatianku. Aku melangkah pelan ke sana.
“Surprise!”
Cahaya dari dua lilin yang diletakkan di meja membantuku menangkap sosok Pras di sana. Dia berdiri di ujung meja dengan senyum merekah. Pandanganku kembali turun dan melihat dua piring steak lengkap dengan cake berukuran kecil.
“Kamu enggak kaget?” tanyanya diikuti lampu yang menyala.
Aku mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang tiba-tiba. “Ini buat apa?”
Pras mengusap tengkuknya. “Enggak kenapa-kenapa. Ngide aja karena kamu belum pulang jadi aku pesen. Kalau lilinnya, biar suasana lebih romantis.”
Rasanya seperti mendapatkan perayaan atas berita duka yang kuterima hari ini. Seandainya Pras tahu, mungkin dia jauh lebih terpukul daripada aku. Pandanganku mendadak buram karena air mata yang terkumpul. Senyum Pras lenyap, ia lalu buru-buru menghampiriku.
“Kenapa?” Pras memegang kedua pundakku dan menunduk, menyejajarkan mata kami.
Aku menggeleng sembari menarik paksa ujung bibirku ke atas.
Pras meluruskan punggungnya lalu membawaku dalam pelukannya. “Ada masalah?”
Aku menggeleng lagi dalam dekapannya.
“Terus kenapa nangis?”
Aku berdeham pelan karena tenggorokanku tercekat. “Aku enggak lapar. Aku mau langsung tidur,” jawabku lemah.
Pras mengelus rambutku sebelum mengurai pelukannya. “Ya udah, enggak apa-apa. Kamu naik duluan.”
Yang kulakukan hanya mengangguk dan pergi dari sana. Meninggalkannya seorang diri.
***
Aku merebahkan tubuhku dengan posisi miring di ranjang. Baru saja kepalaku sampai kebantal, air mata kembali meleleh dari sudut mataku. Kupikir perasaan sudah jauh lebih baik setelah menumpahkan banyak air mata di klinik. Nyatanya, air mataku belum juga habis dan hatiku masih sama sakitnya.
Aku menarik selimut hingga menutupi setengah badan, lalu menyeka air mataku. Aku harus tidur sebelum Pras masuk namun terlambat ketika derit pintu terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simbiosis Romantisme [TAMAT]
RomancePita butuh seseorang yang bisa membantu memperbaiki ekonomi keluarganya. Dan Pras memenuhi syarat itu. Karenanya, Pita berani menerima lamaran Pras -dibanding menunggu Bara yang beberapa bulan ini dekat dengannya. Pita telah merencanakannya matang-m...