36 | Come Back Home

24K 2.7K 27
                                    

Ini terakhir sedih-sedihnya😌
Kalian berhasil melewatinya kawan-kawan




🕊️🕊️🕊️




“Kakak panas banget. Ibu!”

Karena teriakan Raya, aku memaksa mataku terbuka. Aku memang sadar kondisiku makin memburuk dari yang kemarin. Bahkan semalam aku sudah merasakannya. Tubuhku panas sekaligus menggigil, belum lagi sakit kepala yang makin parah.

Tak ingin merepotkan dan mengganggu Raya, aku memilih tidur. Berharap kondisi keesokan harinya membaik. Sayangnya, malah makin buruk.

Raya menempelkan telapak tangannya di dahiku dan berteriak lagi, “Ibu!”

Tak lama Ibu muncul. “Kenapa?”

“Badannya Kak Pita panas banget, Bu.”

Aku cuma diam. Tak ingin menyangkal atau berkata bahwa aku baik-baik saja. Aku butuh obat atau apa pun itu untuk menyembuhkanku.

Ibu mendaratkan tangannya di dahi, leher, dan lenganku. “Raya, ambil handuk sama air hangat.”

Raya mengangguk dan berjalan cepat keluar dari kamar sementara Ibu duduk di sampingku. Menatapku khawatir sembari mengelus rambutku. Dalam diam, aku tersenyum dan membalas tatapan Ibu.

“Ibu ambil makanan ya buat kamu?” bujuk Ibu.

Aku mengangguk. Pada dasarnya aku bukan orang yang menolak usaha agar bisa kembali sehat. Sekalipun lidahku merasakan semua makanan jadi tak enak, aku tetap akan memaksa mengunyah dan menelannya.

 Baru saja Ibu keluar ketika Raya masuk. Membawa wadah dan handuk. Dengan telaten merendam, memerasnya, lalu meletakkannya di dahiku.

“Makasih, ya,” bisikku pada Raya.

“Enggak usah makasih-makasih, mending Kakak cepet sembuh,” balas Raya cemberut.

“Oke,” kataku sebelum memejamkan mata. Dengan begini rasa sakitnya agak berkurang. Tidak berapa lama, kudengar langkah mendekat. Itu pasti Ibu. Jadi, aku membuka mata dan menoleh. Aku memiringkan tubuh untuk bangkit dan lupa kalau ada handuk di keningku. Untungnya Raya cepat mengambil dan mengembalikannya ke wadah di atas nakas. Raya segera menyingkir dan memberikan tempat agar Ibu duduk.

Aku mengambil piring dari tangan Ibu dan mulai menyuapnya ke dalam mulutnya. Sesuai dugaan, bahkan aroma telur balado jadi aneh di hidungku. Disuapan kelima, aku berhenti dan meneguk segelas air. Selain karena tidak ingin lagi makan, kepalaku berdenyut-denyut karena duduk lama.

“Ini obatnya.” Ibu memberiku sebutir obat yang tadi dibawanya bersama makanan. Tanpa protes atau drama penolakan, aku menelannya dan menghabiskan sisa air digelasku. Selanjutnya aku kembali membaringkan tubuhku.

“Kalau butuh apa-apa, panggil Ibu.” Ibu mengembalikan handuk ke dahiku.

Aku mengangguk.

“Ayo keluar. Biar kakakmu istirahat.”

Tidak perlu menunggu efek samping obat yang membuatku mengangguk. Aku cukup memejamkan mata dan kembali tertidur.

***

Dalam tidur, aku merasakan sapuan lembut dirambutku. Pelan dan hati-hati seakan takut aku terbangun. Bukannya terganggu tapi mungkin tidurku sudah lumayan lama makanya aku mulai sadar.

Pemandangan yang pertama kali kulihat adalah langit-langit kamar dan sebuah tangan yang agak besar. Ini bukan tangan Raya apalagi Ibu. Pandanganku turun, di sana ada laki-laki yang selama beberapa hari sering aku pikirkan.

Simbiosis Romantisme [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang