Ini adalah hari pertamaku menjadi seorang istri, itu adalah hal pertama yang terlintas di kepalaku begitu membuka mata pagi ini. Tanpa diminta, tiba-tiba saja adegan di mana aku bertemu Pras pertama kali, pertemuan kedua, hingga akhirnya kami memilih jalan menuju hubungan yang serius, terputar bagai film. Rasanya baru kemarin kami bertemu, sekarang aku sudah resmi menyandang status sebagai istrinya.
Alarm dari ponsel yang kembali berbunyi mengalihkan pandanganku. Sebelah tanganku terulur meraih ponsel di atas nakas lalu bangkit dari tempat tidur. Setelah selesai menunaikan salat, aku keluar untuk berbenah. Sebenarnya, rumah yang hanya ditinggali dua orang ini termasuk rapi. Mungkin karena tidak banyak barang-barang kecil atau hiasan yang tertempel didinding.
Tidak perlu banyak waktu membersihkan seluruh bagian rumah —kecuali kamar Pras. Aku tidak berani masuk tanpa izin. Jadi, aku memutuskan menuju dapur. Memeriksa isi kulkas yang ternyata cukup lengkap. Baru saja aku berjongkok, bermaksud mengambil beberapa sayur ketika aku sadar tidak tahu apa-apa tentang makanan kesukaan atau yang tidak disukai Pras.
Istri macam apa aku ini?
Akhirnya aku menutup kulkas dan mengedarkan pandangan ke segala penjuru dapur. Tidak menemukan makanan yang bisa kuolah, lemari gantung menjadi buruanku selanjutnya. Setelah dua kali kosong, aku berhasil menemukan sebungkus roti tawar.
Tanpa berlama-lama, aku segera memanaskan teflon, mengoleskan margarin di kedua sisi roti lalu memanggangnya.
“Pagi, Pita.”
Aku menengok singkat dan membalas sapaannya, “Oh, pagi!” karena aku harus membalik rotinya agar tidak gosong.
“Kamu suka roti bakar?”
Aku tetap tidak bisa berbalik karena setelah roti pertama kuangkat, aku lanjut mengoles roti kedua dan membaringkannya diteflon. “Ini buat kita. Kamu enggak alergi tepung, kan?”
“Kita?”
“Iya, sarapan buat kita. Enggak apa-apa, kan?” Aku berbalik dan malah berhadapan langsung dengan Pras yang hanya selangkah dariku. Sejak kapan dia ada di belakangku? Langkah kakinya pun aku tidak dengar.
Mungkin sadar akan keterkejutanku, Pras mengambil dua langkah ke belakang. “Iya.”
Kami sempat terdiam beberapa detik sampai akhirnya Pras kembali bersuara. “Butuh bantuan?”
Aku menggeleng cepat. “Enggak usah.”
Pras menurut. Ia duduk di kursi sementara aku kembali fokus pada roti di depanku. Tidak butuh waktu lama, aku sudah menyajikan roti bakar di meja.
“Sebenarnya aku pengen masak tapi enggak tau kamu suka apa.”
Gerakan tangan Pras yang tengah mengoleskan selai di atas roti berhenti lalu mengangkat kepalanya, menatapku. “Mm ...” Pras tampak berpikir. “Aku suka semua kecuali kopi.”
Aku melipat kedua tanganku di atas meja dan sedikit mencondongkan tubuh ke depan. “Kopi? Jadi, kalau pagi kamu minum apa?”
“Air putih.”
“Teh?”
Pras memiringkan kepalanya. “Bisa kuminum tapi enggak begitu suka.”
Hal kecil semacam ini harus aku simpan baik-baik dalam kepalaku. Hingga tanpa sadar aku mengangguk-angguk. “Oh, kamu enggak suka yang manis-manis?”
Pras mengernyit sebentar lalu ujung bibirnya terangkat. “Suka kok.”
Alisku terangkat penasaran. “Apa?”
“Mm, ada lah pokoknya.”
Merasa Pras tidak ingin menjawabnya, aku menyudahi sesi tanya jawab kami dan ikut menikmati sarapan. Pras mengoles roti untuk yang kedua ketika aku menandaskan tehku dan bangkit dari duduk. Waktunya siap-siap berangkat kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simbiosis Romantisme [TAMAT]
RomancePita butuh seseorang yang bisa membantu memperbaiki ekonomi keluarganya. Dan Pras memenuhi syarat itu. Karenanya, Pita berani menerima lamaran Pras -dibanding menunggu Bara yang beberapa bulan ini dekat dengannya. Pita telah merencanakannya matang-m...