Happy reading❤️
🕊️🕊️🕊️
Hampir jam sembilan ketika aku sampai di rumah. Padahal aku sudah meninggalkan catatan di meja bersama makan malam bahwa aku akan pulang paling lambat jam delapan. Karena kupikir hanya akan menemui Sandra. Belum lagi obrolanku dan Bara juga lumayan panjang.
Aku langsung menuju dapur dan mendapati Pras masih duduk di sana. Sedang menikmati makan malamnya. Dia baru pulang?
Pras menarik kursi di sebelahnya merapat ke kursinya dan menepuknya saat melihatku. “Sini.”
Tanpa kata aku menghampiri dan duduk di dekatnya. Sebenarnya aku agak takut Pras marah karena aku hanya meninggalkan catatan dan mematikan ponselku. Jadi, tidak ada yang bisa menghubungiku tadi.
“Kamu belum makan, kan?” tanya Pras.
Air mukanya sih tidak kelihatan marah tapi sejak tadi Pras tidak tersenyum. Aku menggeleng ketika Pras menoleh.
Pras menyodorkan sendoknya ke depan mulutku. “Aaa..”
Mataku menatap sendok dan Pras bergantian lalu bermaksud meraih sendok di tangannya. Sayangnya, Pras lebih gesit menarik sendoknya. “Aku bisa sendiri.”
“Pita,” desisnya tidak sabaran. Walau sangat terpaksa, akhirnya aku membuka mulut agar makanan itu bisa masuk. Aku mengunyah perlahan sementara Pras menatapku lurus-lurus.
“Kamu kan baru sembuh, aku izinin kamu kerja aja sebenarnya berat. Ini malah keluar. Habis dari mana?” tanyanya.
Aku menelan makanan yang berhasil kukunyah dan menjawab, “Ketemu orang sama ketemu temen.”
Pras mengernyit lalu menyuapiku lagi. “Siapa?”
“Sandra terus Bara,” kataku sebelum menyambut suapannya.
“Sandra?” Pras meletakkan sendoknya dan memfokuskan perhatiannya padaku.
Aku mengangguk. “Semalam aku lihat chat dia, yang minta ketemu sama kamu. Jadi, aku datang.”
“Kenapa diladenin?”
“Kasih dia peringatan. Kalau dia tetap ganggu kamu, aku bakal tonjok dia tiga kali,” kataku meniru apa yang dulu Pras pernah katakan.
Pras tergelak. Aku lega, akhirnya dia senyum. Puas tertawa, Pras kembali menampakkan wajah serius.
“Kalau Bara?”
“Dari Sandra, aku tau Bara banyak bantu aku waktu itu. Aku ketemu untuk bilang makasih sama Bara.”
Pras mengangguk-angguk. “Cuma itu, kan?” tanyanya sambil lanjut menyuapiku lagi.
“Memangnya mau ngapain lagi?”
“Siapa tau kalian lanjut ngobrol.”
“Iya, kita emang ngobrol. Masa aku datang cuma bilang makasih terus pamit.”
Kedua kalinya, Pras meletakkan sendoknya. Kali ini bukan hanya menatapku tapi juga menyerong posisiku agar berhadapan dengannya. “Pita.”
Aku mengangguk kecil.
“Aku mau ngajak kamu liburan.”
“Kenapa tiba-tiba?”
Pras menggeleng. “Enggak tiba-tiba. Dari awal kita nikah, aku udah niat ngajak kamu. Tapi waktunya selalu enggak pas. Selain itu, aku juga mau habisin waktu berdua aja sama kamu.”
“Masih ada alasan lain, kan?”
“Kamu bisa baca pikiran?” tanyanya penuh selidik.
Aku menunduk lalu menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simbiosis Romantisme [TAMAT]
Roman d'amourPita butuh seseorang yang bisa membantu memperbaiki ekonomi keluarganya. Dan Pras memenuhi syarat itu. Karenanya, Pita berani menerima lamaran Pras -dibanding menunggu Bara yang beberapa bulan ini dekat dengannya. Pita telah merencanakannya matang-m...