Besok enggak ada ya soalnya aku melibur diri. Senin kita ketemu
Happy reading❤️
🕊️🕊️🕊️
“Kamu sendirian di rumah, emang enggak apa-apa?”
Aku menutup pintu mobil Dokter Mona lalu mengangguk dengan senyum meyakinkan. “Iya, Dok. Aku bisa minta Bintang pulang.”
Tadinya aku bermaksud mampir ke rumah Ibu namun setelah dipikir lagi, itu berisiko. Meski dia tidak membuntutiku, aku tetap takut. Aku tidak ingin dia mengganggu Ibu dan kedua adikku. Nyalinya bisa saja semakin menjadi jika tahu di sana hanya ada perempuan. Jadi, aku memutuskan pulang.
Tidak mungkin juga orang itu berbuat yang tidak-tidak. Kecuali kalau memang dia berniat dihajar warga.
“Ya udah, masuk sana.”
“Makasih, Dok.”
Dokter Mona melaju setelah aku mengunci pagar. Begitu berada dalam rumah pun aku segera mengunci pintu. Tanganku yang terangkat pada sakelar berhenti diudara. Mungkin sebaiknya aku tidak menyalakan lampu teras dan ruang tamu agar orang itu mengira belum ada orang di rumah. Aku mengangguk, itu ide bagus.
Saat segalanya kurasa aman, aku mengganti pakaian dan menuju dapur. Untuk urusan mandi, aku akan menunggu Pras pulang. Aku tidak tenang berada di kamar mandi apalagi setelah pertemuan demi pertemuan dengan suami Mbak Indri. Menyebut atau mengingat namanya saja aku tidak sudi.
Aku meletakkan ponsel dalam kantong celemek kemudian memasak makan malam. Selama memasak, aku terus memasang telinga waspada. Di tengah-tengah kegiatan masak memasak, ponselku bergetar singkat.
Pesan WhatsApp dari nomor tidak dikenal.
Pita belum pulang?
Ini saya Danan
Bulu kudukku meremang membaca pesannya. Aku melempar ponselku ke meja makan saking jijiknya. Dari mana dia tahu nomorku? Aku memijit pelipisnya, mendadak kepalaku pening. Aa! Aku ingat. Mbak Indri dan aku bertukar nomor waktu itu.
Hanya ada dua alasan mengapa orang ini juga bisa tahu. Pertama, dia meminta langsung namun dengan alasan yang tidak akan dicurigai. Kedua, mengambil diam-diam. Tiba-tiba aku memikirkan Mbak Indri. Bagaimana perasaannya jika tahu kelakuan suaminya? Kalau itu aku, sudah sejak lama aku meninggalkannya.
Lamunanku seketika buyar ketika mendengar seseorang seperti mencoba membuka pintu. Aku bergerak cepat mematikan kompor lalu mengambil teflon yang tergantung. Dalam keadaan gelap, aku mengendap-endap melewati ruang tamu dan sampai di dekat pintu.
Aku menelan ludahku susah payah sembari mengeratkan pegangan pada gagang teflon. posisiku telat siap menerjangnya jika penyusup di luar sana mencoba masuk tapi kenapa keadaan jadi sunyi. Aku menempelkan telingaku didaun pintu, mataku terbuka lebar saat mendengar langkah kaki diikuti jendela samping pintu menunjukkan siluet seorang laki-laki.
Jendelanya dibuka dengan mudah! Tanganku gemetar, aku lupa menguncinya. Dibantu cahaya remang dari lampu jalan, aku mengangkat teflon dan menerjang tubuh penyusup itu sekuat yang kubisa.
“Arghh!”
Teflon terlepas dari tanganku. Teriakan barusan, aku kenal suaranya.
Lampu tiba-tiba menyala. “Pras?”
Di depanku Pras meringis sambil memegang pundak kirinya. “Suami kamu ada salah apa sampai disambut teflon begini?”
“P-Pras.” Tanganku terulur memeriksa pundaknya. “Aku pikir tetangga di depan. Maafin aku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Simbiosis Romantisme [TAMAT]
RomancePita butuh seseorang yang bisa membantu memperbaiki ekonomi keluarganya. Dan Pras memenuhi syarat itu. Karenanya, Pita berani menerima lamaran Pras -dibanding menunggu Bara yang beberapa bulan ini dekat dengannya. Pita telah merencanakannya matang-m...