Masih sad reading🫂
🕊️🕊️🕊️
Sehari berlalu begitu saja dan aku belum menceritakannya pada Pras. Hatiku masih berat, bahkan untuk sekadar berbicara dengan Pras pun aku tak takut.
Tapi malam ini, aku memantapkan diri dan berjanji besok akan mengatakan semuanya. Kalau aku menunggu diriku siap, sampai kapan pun aku tidak akan siap. Aku harus menerima apa pun keputusan Pras nantinya.
Aku duduk di ranjang ketika pintu kamar terbuka. Pras yang baru saja pulang berdiri di sana, aku tersenyum tipis menyambutnya. Pras tidak membalas senyumku seperti biasa, ia justru segera menghampiri dengan langkah lebar. Aku bangkit dengan alis bertaut. Dan semakin terkejut saat Pras memelukku.
Pelukannya berbeda. Kali ini terasa erat.
“Aku udah tau,” bisiknya.
Aku mendorong Pras namun ia malah mengeratkan pelukannya.
“Kak Tiara udah cerita.”
Aku mendesah pasrah dan mendorongnya pelan. Menatapnya dengan senyum pahit di wajahku. “Jadi, apa yang bakal kamu lakuin?”
Pras tidak langsung menjawabnya dan hanya menatapku. Kenyataan ternyata datang lebih cepat. Berarti malam ini, aku akan mendengarnya. Aku memutus netra dan duduk di pinggir ranjang. Takut kakiku nanti tak akan kuat menopang tubuhku.
“Kita enggak bisa punya anak. Aah, enggak. Kita bisa punya anak tapi konsekuensinya berat,” kataku tenang.
Pras berjongkok di hadapanku dengan satu lutut bertumpu di lantai. Kedua tangannya menggenggamku. Entah bagaimana melihatnya di depan mata, aku ingin menumpahkan keluh kesahku selama beberapa hari ini.
“Pita.”
“Pras, kenapa hidup aku gini banget? Maksudnya, aku enggak dapet ayah yang baik. Selama kuliah, aku mesti kerja bantu Ibu dan sampai sekarang masih kerja. Aku bahkan enggak ada pikiran atau niat nongkrong atau sekadar jalan-jalan sendiri. Karena aku berusaha hidup sehemat mungkin. Begitu menikah, aku memang dapat suami yang baik. Jauh dari ekspektasiku selama ini. Tapi bahagia yang dikasih terlalu singkat.”
Pras diam, membiarkan aku mengeluarkan semuanya.
“Aku selalu berusaha baik sama orang dan enggak nyusahin tapi aku malah dikasih cobaan lagi!”
“Pita.”
“Kita enggak bisa punya anak, Pras.”
“Allah mau kita pacaran dulu,” katanya lembut. Pras tersenyum lalu mengelus pipiku. “Enggak masalah kita enggak bisa punya anak.”
Di mataku Pras berkata demikian hanya untuk menghiburku. Di usia pernikahan yang masih awal seperti ini, Pras mungkin mudah mengatakan ‘tidak apa-apa’, ‘aku bisa bahagia walau tanpa anak’, dan sebagainya. Tetapi bagaimana 10 atau 15 tahun lagi? Rasa kesepian bisa membuatnya menuntut apa yang dulunya tidak menjadi masalah baginya.
Aku menunduk, menghindari matanya. Menatapnya hanya membuatku ingin menangis, lagi dan lagi. Mungkin sebaiknya aku tidak berada di dekatnya untuk sementara waktu.
“Pras, aku mau tinggal di rumah Ibu untuk sementara waktu.”
Pras berdiri dan duduk di sebelahku tanpa melepas tanganku. “Berapa hari?”
Aku menoleh. “Boleh?”
Pras mengangguk. “Aku ngerti, ini sulit buat kamu. Selama aku tau kamu aman di sana, enggak apa-apa. Jadi, berapa hari?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Simbiosis Romantisme [TAMAT]
RomancePita butuh seseorang yang bisa membantu memperbaiki ekonomi keluarganya. Dan Pras memenuhi syarat itu. Karenanya, Pita berani menerima lamaran Pras -dibanding menunggu Bara yang beberapa bulan ini dekat dengannya. Pita telah merencanakannya matang-m...