32 | Sebaiknya Jangan

23.8K 2.8K 51
                                    



Now Playing | Huh Gak - Your Warmth


🕊️🕊️🕊️



Sekitar satu jam yang lalu, Dokter Mona menghampiri mejaku dan memintaku bersiap-siap pulang. Masih siang jadi aku bertanya apa Dokter Mona ada urusan mendadak. Jawaban tidaknya membuatku bertanya lagi. Dokter Mona belum menjawab ketika ponselku berdering. Dari Kak Tiara.

“Mending kamu tanya Tiara langsung,” kata Dokter Mona sebelum berlalu dari hadapanku.

Aku mengangkat telepon dari Kak Tiara dengan kepala penuh pertanyaan. Sejauh ini aku belum bisa menduga apa-apa. Bahkan setelah aku tahu ternyata Kak Tiara langsung yang meminta izin pada Dokter Mona agar aku bisa pulang. Karena masih bingung dan penasaran, aku bertanya. Dan balasan Kak Tiara membuatku terdiam hingga Pak Bagus masuk mengabarkan seseorang telah menungguku di luar sana.

“Pita, ayo masuk.”

Saat aku duduk dan mobil melaju pelan. Kami sama-sama diam untuk waktu yang cukup lama. Kata-kata Kak Tiara ditelepon seakan terus masuk ke telingaku tanpa henti.

“Kak, gue sakit, ya?” tanyaku memecah keheningan. Aku menunduk sambil memainkan kukuku menunggu jawabannya.

“Enggak, lo baik-baik aja.”

Meski terdengar yakin, aku justru tak yakin. Kalau memang aku baik-baik saja, untuk apa aku pulang lebih awal demi melakukan pemeriksaan di rumah sakit? Apa alasannya selain aku sakit? Tidak ada, kan?

Kudengar Kak Tiara menghela napas panjang. “Kemarin gue ngobrol sama Ibu. Dan baru tau kenapa Ibu masuk rumah sakit waktu itu. Sebenarnya begitu pulang, gue mau langsung ngomong sama lo. Tapi karena Malik, gue lupa semuanya.”

Aku memilih diam, membiarkan Kak Tiara menjelaskan segalanya sebelum kami sampai di rumah sakit.

 “Thalassemia minor. Lo ingat, kan?”

Jika menyangkut Ibu, aku tentu ingat. Tapi, apa yang dikatakan dokter waktu itu. “Bukannya itu enggak bahaya? Dan apa hubungannya sama Ibu?”

“Memang enggak bahaya. Dan hubungannya dengan Ibu, penyakitnya bisa menurun.”

Aku mengernyit tak mengerti.

“Pita, lebih baik untuk sekarang jangan bertanya terlalu banyak. Gue enggak mau lo berpikir yang enggak-enggak sebelum hasilnya keluar.”

Akhirnya aku diam, sesuai permintaan Kak Tiara. Aku melarikan tatapanku ke luar jendela, mengingat kembali hidupku beberapa bulan ini. Kebahagiaanku baru dimulai dan aku belum puas merasakannya. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan bersama laki-laki yang membuatku bahagia.

Aku tersenyum getir. Pita yang malang.

Dunia sekali lagi bertindak tak adil.

***

Sederet pemeriksaan darah telah selesai aku lakukan. Sisa menunggu hasilnya. Jadi Kak Tiara mengajakku duduk dipinggir kolam di samping bangunan rumah sakit. Ditemani minuman kemasan.

Tidak banyak yang kami bicarakan. Hanya masa-masa di mana kami pertama kali bertemu dan bagaimana senangnya Kak Tiara begitu tahu adiknya kembali berniat serius menjalin hubungan dengan perempuan.

Sisanya, kami lebih banyak diam. Aku tentu saja sibuk dengan berbagai pertanyaan dan berusaha mencari jawabannya seorang diri. Lamunanku lenyap ketika dering ponsel mengalihkan perhatian kami berdua.

“Halo? Gimana?”

“Oh, oke. Gue ke sana sekarang.”

Selesai memutus sambungan telepon, Kak Tiara bangkit dan menoleh. “Tunggu di sini, biar gue yang ke sana.”

Simbiosis Romantisme [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang