10. Tanggung Jawab

25.7K 3.4K 69
                                    

Happy reading!




🕊️🕊️🕊️




Pita!”

Aku menjauhkan ponsel dari telingaku dan membuang napas panjang. Lalu kembali menempelkannya. “Kenapa, Bar?”

Belum pulang?

“Lagi beres-beres,” jawabku. Sesuai apa yang aku katakan barusan, satu tanganku memegang ponsel dan satunya sibuk memasukkan barang-barang kecil ke dalam tas. Seperti pulpen, catatan kecil, dan charger.

Mau gue jemput?

Gerakan tanganku berhenti. Aku mengernyit dalam dan kali ini tanpa perlu menjauhkan ponsel, aku menghela napas. “Enggak usah. Gue kan bawa motor.”

Bara mendesah kecewa. “Padahal gue mau ngajak jalan, Pit.

Beberapa hari yang lalu, aku sudah mengatakan betapa risinya aku menerima hadiah-hadiah darinya. Dan peringatan agar dia tak lagi mengirimkan hadiah apa pun. Tanpa protes, Bara mengiyakan. Dia bahkan berjanji dan meminta maaf dengan tulus.

Kupikir, masalahnya telah selesai. Ternyata tidak. Bara memang tidak lagi mengirim hadiah atau makanan tetapi berubah menjadi ajakan bertemu. Seperti hari ini. Kalau dihitung-hitung, ini ajakan ketiganya. Dan sebanyak itu pula aku menolak.

“Gue capek, Bar. Mau istirahat aja.” Selain itu, jalan sama saja menghambur-hamburkan uang.

Padahal gue mau sekalian kenalin lo sama teman gue. Dia lagi cari-cari guru les privat buat anaknya.

Aku menyampirkan tas dan keluar dengan langkah cepat. “Gue ke sana sekarang.” Iya, aku memang semudah itu berubah pikiran jika berhubungan dengan uang.

***

Dari jauh, aku melihat Bara berdiri di depan kafe sambil melambaikan tangannya padaku. Senyumnya semakin merekah saat aku menepikan motor dan membuka helmku. “Kenapa enggak masuk?”

Bara memutar bola matanya ke atas, “Emm, nungguin lo?”

Aku mendengus. “Gue bukan anak kecil,” lalu turun dari motor.

Sebelum masuk, aku menyempatkan diri melihat bangunan kafe yang katanya Bara baru sebulan ini buka. Tidak ada kesan unik, konsepnya hampir sama seperti kafe kebanyakan. Minimalis dan nyaman. Bahkan aku bisa leluasa menyaksikan orang-orang di dalam sana karena dinding dan pintu kafe seluruhnya menggunakan kaca.

“Pita, ayo masuk!”

Aku dengar suara Bara tetapi, mataku tiba-tiba menangkap sosok yang tidak asing di dalam sana. Meski berdiri memunggungiku, aku masih saja mengenalnya. Dan saat dia berbalik karena salah satu pengunjung memanggilnya, aku bisa melihat wajahnya sepenuhnya. Itu benar-benar Jihan.

Entah apa yang aku rasakan saat ini. Marah, sedih, bersalah, semua bercampur menjadi satu sampai satu kata pun tak sanggup keluar dari mulutku. Mataku hanya terus terpaku pada Jihan yang tersenyum sambil menuliskan sesuatu dibuku kecil di tangannya.

Saat Jihan selesai dan mendongak, mata kami akhirnya bertemu. Jihan jauh lebih kaget dariku. Tentu saja! Karena setahunya, aku tidak akan mungkin menginjakkan kaki di kafe hanya untuk bersantai setelah seharian bekerja.

“Pita.”

Sentuhan di lengan kananku mengalihkan perhatianku. Di sebelahku, Bara menatap khawatir.

“Lo nangis?” Bara sedikit menunduk dan memandang wajahku lamat-lamat.

Sebelah tanganku terangkat cepat, menyeka sudut mataku. Ternyata memang ada sedikit air mata di sana. “Enggak. Tadi kemasukan debu.”

“Makanya, ayo masuk,” desak Bara.

Simbiosis Romantisme [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang