20 | Balas Dendam

24.2K 3.3K 88
                                    

Yuhuuu! Balik lagi bersama Pita-Pras di sini!

Happy reading ❤️




🕊️🕊️🕊️




“Itu bukannya cewek yang lagi viral itu, kan?”

“Yang mana?”

“Pelakor. Katanya, dia rebut cowok orang. Mana sampai nikah lagi.”

“Masa? Mana videonya, gue mau lihat.”

“Ihh, iya.”

Telingaku masih berfungsi dengan baik jadi aku dengar semua yang dua perempuan yang tengah duduk menunggu. Aku hanya berpura-pura tuli dan mengabaikan mereka. Bahkan aku tak mengangkat kepalaku untuk setidaknya melihat seperti apa orang yang membicarakanku.

“Videoin, La. Biar lo fyp.”

Aku mendengus dan akhirnya mengangkat kepalaku. Tepat sekali, karena kamera ponselnya benar-benar mengarah padaku. Sebelumnya aku masih bisa tahan, tetapi kali ini tidak. Ini menyangkut privasi dan orang-orang seperti ini tidak mengerti sama sekali. Tanpa izin merekam atau mengambil foto orang lain demi view atau like.

Saat aku berdiri, perempuan dengan kacamata besar itu menurunkan ponselnya namun kamera tetap mengarah padaku. Dengan langkah lebar aku menghampiri mereka berdua dan merampas ponsel dari tangannya.

“Mbak! Apa-apaan sih!” Sang pemilik ponsel berdiri menantang dengan tatapan nyalang. “Itu hape saya!”

Aku membalikkan tubuhku, menghentikan video yang terekam, dan menunjukkannya pada mereka. “Dan kenapa Anda rekam saya tanpa izin?”

Tangannya berusaha merampas namun aku mengangkat ponselnya tinggi-tinggi. “Enggak sengaja kepencet kali! Balikin!”

“I-iya. Ngapain juga teman saya rekam Mbak.” Temannya ikut membela meski sedikit terbata.

“Seharusnya saya yang nanya, ngapain kamu rekam saya?”

“Kan saya bilang enggak sengaja kepencet!” jerit perempuan berkacamata.

Baru saja aku ingin membalasnya, ponsel di tanganku tiba-tiba direbut dari belakang. Aku berbalik dan menemukan Dokter Mona sedang mengutak-atik ponsel perempuan berkacamata.

“Dok,” gumamku. Takut Dokter Mona marah karena aku membuat keributan di klinik. Terlebih kepada pelanggannya.

“Nih.” Dokter Mona menyerahkan ponsel pada si pemilik.

Perempuan berkacamata tersenyum menang saat menerimanya. “Makasih, Dok. Oh iya, Dok, tadi Mbak ini—”

“Silakan keluar,” potong Dokter Mona.

Sama seperti dua perempuan di hadapanku, aku juga terkejut.

“Dokter ngusir kita? Kita mau treatment loh, Dok.”

“Iya, kalian bisa cari klinik lain. Saya enggak suka melayani orang yang enggak ngerti etika dan sopan santun. Memangnya umur kalian berapa sampai berani teriak-teriak? 30? 40? Rekam orang tanpa izin pula, kalian enggak ngerti namanya privasi?”

“La, ayo keluar.”

Kedua perempuan itu mendelik ke arahku sebelum keluar dari klinik. Tanpa kata maaf atau penyesalan di wajah mereka. Tepukan di pundak membuatku menoleh dan melihat Dokter Mona tersenyum.

“Kalau Tiara yang ada di sini, hapenya udah dibanting tuh,” kata Dokter Mona mendecakkan lidah.

“Maaf, Dok.”

Simbiosis Romantisme [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang