7. Hai!

29.7K 3.6K 48
                                    

Pras Pita kembali hadir menemani malam Jumat-mu👻👻 (eh, salah. Sabtu maksudnya)

Happy reading❤️


🕊️🕊️🕊️


Sabtu, lagi.

Itu artinya aku mulai mengajar Eila. Semalam, aku sudah mempersiapkan diri. Bukan mengulang pelajaran yang akan aku ajarkan pada Eila tapi menonton beberapa episode kartun Spongebob.

Meski awalnya aku lebih sering mengernyit, lama kelamaan aku malah menikmati kartunnya. Rasanya seperti kembali ke masa kecil, di mana aku bangun pagi untuk menonton episode yang sebenarnya lebih sering diulang-ulang.

Intinya, siang ini aku sudah sangat siap bertemu Eila.

“Ibu?” Aku menutup pintu kamar dan menghampiri Ibu. Tadi mataku sempat menangkap tangan Ibu yang memijit-mijit pelipisnya.

Ibu menengok, lengkap dengan senyum menenangkannya. Terkadang aku bertanya-tanya, apakah kata kalimat ‘Perempuan yang baik hanya untuk laki-laki baik, pun sebaliknya’ yang sering digaungkan benar adanya? Kalau ada yang bilang benar lalu bagaimana dengan Ibuku?

“Mau berangkat?”

Satu tanganku memegang pundak Ibu lalu sedikit menunduk. Dari jarak sedekat ini, aku bisa dengan jelas wajahnya yang pucat. “Ibu pusing?”

“Sedikit tapi enggak apa-apa.”

Aku melirik singkat kain yang tersebar di atas mesin jahitnya. “Istirahat dulu, Bu. Jangan dipaksa.”

Ibu menggeleng pelan. “Dress-nya harus jadi dua hari ke depan. Ibu enggak boleh leha-leha.”

Aku membasahi bibirku yang mendadak kering. Perkataan Ibu barusan berhasil membuatku merasa bersalah. Untuk kesekian kalinya. Aku selalu berakhir dengan berandai-andai. Seandainya, pekerjaanku lebih baik dari ini. Mungkin Ibu tidak perlu repot begini. Seandainya, waktu itu aku ikut mengingatkan Ayah. Mungkin keluargaku tidak akan seterpuruk ini. Dan, andai-andai yang lain.

“Kan, enggak mesti berjam-jam. Ibu duduk 10 atau 20 menit sambil ngeteh kan istirahat juga namanya.”

Ibu diam, seakan menimbang-nimbang saranku.

“Pita buatin teh, ya?” bujukku lagi.

“Kamu kan mau berangkat. Ibu bisa buat sendiri kok.” Ibu akhirnya berdiri dari kursi yang sejak pagi menemaninya menuju dapur.

Sementara aku, melanjutkan pencarian kunci motor. Padahal aku ingat betul meletakkan kuncinya di atas nakas samping tempat tidur seperti biasa. Aku bukan orang yang sembarang meletakkan barang-barang kecil yang sudah ditemukan. Karena aku tahu diri, sering lupa di mana meletakkannya terakhir kali.

“Ibu,” aku menyusul Ibu ke dapur. Setelah mencari di segala tempat yang mudah dijangkau dan aku tetap tidak menemukannya, Ibu adalah penyelamatku.

Ibu meneguk tehnya sebelum menyahut, “Kenapa?”

“Ibu, lihat kunci motor enggak? Seingatku sih aku taruh di kamar.”

“Oh, Jihan enggak izin sama kamu?”

Aku menghela tanpa sadar.

“Tadi pagi Jihan pamit keluar bawa motor, katanya mau kerja tugas. Ibu pikir dia udah izin sama kamu.”

🕊️🕊️

Turun dari motor, aku hampir lupa untuk membayar ongkos ojeknya. Rasanya berat sekali mengeluarkan uang sebagai ongkos padahal aku punya motor sendiri. Tapi, karena Jihan memakainya tanpa izin.. ah, sudahlah! Memikirkannya malah menambah kekesalanku.

Simbiosis Romantisme [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang