-Dua puluh Enam-

585 20 3
                                    

Dika sudah di kelilingi oleh ke empat sahabatnya yang masih penasaran. Tadi, saat bel istirahat berbunyi, mereka langsung menyeret Dika ke warung Teh Yuli untuk mengintograsinya.


Mereka menatap Dika dengan tatapan bingung dan juga mengintimidasi, membuat Dika hanya bisa pasrah dan menghela nafasnya.

"Apa?" tanya Dika malas.

"Lo kok bisa akur sama Diki?" tanya Rizal penasaran.

"Iya, kenapa lo baikan sama dia?" Gino ikut menimpali, karena sama-sama penasaran.

"Ada satu hal yang belum kalian tau tentang gue sama Diki." Dika menjawab dengan sangat singkat, padat dan jelas.

"Apa?" Kompak mereka penasaran, bahkan Rafael pun ikut penasaran.

"Gue sama Diki itu saudara kembar, kita kembar." Dika menjawab dengan santai.

Ke empat sahabat Dika langsung melongo tak percaya dengan apa yang di katakan Dika. Mata mereka membulat seketika dan mereka hanya diam saja.

"Beneran?" Kompak mereka sambil berteriak, membuat telinga Dika menjadi sakit.

"Biasa aja kali. Gak usah teriak-teriak! Kuping gue sakit nih." Dika berucap kesal, sembari mengusap-ngusap telinganya.

Ke empat sahabat Dika hanya bisa diam dan tersenyum saja. "Ya maaf,"

"Beneran? Terus kenapa lo gak kasih tau ke kita?"

"Iya, waktu dulu lo kayaknya benci banget sama Diki. Kenapa lo sebenci itu sama kembaran lo?"

"Dia Kakak lo atau Adik lo?"

"Berarti kalian serumah dong?"

Pertanyaan-pertanyaan yang di lontarkan oleh sahabatnya itu, membuat Dika menjadi pusing. Kalau nanya itu satu-satu jangan bergerombolan.

"Oke, gue jawab satu-satu. Gue sama Diki itu emang kembar. Dia lahir 5 menit lebih dulu daripada gue, jadi dia Kakak gue. Ada sebuah masalah yang buat gue sama dia harus saling membenci. Makanya, gue gak mau ngasih tau kalau dia itu kembaran gue, tapi seiring berjalannya waktu gue udah mulai maafin dia. Kita itu kembaran. Satu keluarga, ya, iyalah gue sama dia serumah. Udah puas, kan?" Dika menjawab dengan kesal. Pertanda, kalau dia tidak suka di tanyai secara beruntun.

"Oh," ke empat sahabat Dika hanya mangut-mangut saja. Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ingin mereka tanyakan, tapi melihat Dika yang sedang kesal, membuat mereka mengurungkan niatnya untuk bertanya.

"Kalau di liat-liat lagi, lo sama si Diki emang agak mirip." Gino menatap lamat-lamat wajah Dika.

"Iya, kalian emang agak mirip, walau beda juga. Kenapa kita gak pernah nyadar kalau mereka kembar?" ucap Leo yang masih bingung.

"Iya, gue juga bingung. Mana kita sering bully dia lagi," Rizal berucap sedih. Dia jadi merasa bersalah.

"Nah soal bully membully. Gue pingin kalian minta maaf sama Diki!" ucap Dika menyuruh ke empat sahabatnya.

"Hah?"

"Tapi, yang di katain Dika bener juga. Kita harus minta maaf! Kita itu salah dan sekarang kita udah tau kalau dia itu kembarannya Dika. Jadi, mungkin kita bisa berteman." Rafael akhirnya, berucap setelah sekian lama hanya diam saja.

"Ide bagus. Gue setuju sama Rafael." Dika menyahuti dengan sangat semangat.

"Yaudah kalau gitu," ucap Rizal, Gino dan Leo pasrah. Mereka berlima memakan makanan yang sudah sedari tadi mereka pesan.

!!!!

"Lo gak ke kantin?" tanya Rama saat melihat Diki yang akan pergi ke ruang OSIS.

"Ada berkas yang harus gue urus," 

"Nanti aja urusin berkas mah! Sekarang kita ke kantin aja buat makan!"

"Iya, Ki. Lo jangan terlalu sering ngerjain tugas OSIS, entar stres lagi." Afifah ikut memperingati Diki.

"Iya, gue takut lo jadi stres." sahut Rama bergidik ngeri.

Diki hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng kepala. Lucu sekali kedua sahabatnya itu, membuat Diki jadi gemas sendiri. "Oke, kita ke kantin!"

"Ayo!" Rama merangkul bahu Dika dan menyeretnya menuju kantin.

"Go!" Afifah berjalan mendahului Rama dan Diki.

Mereka bertiga berjalan menuju kantin. Afifah asalnya berniat mengajak Dika ke kantin, tapi entah kenapa dia malah mengurungkan niatnya itu dan lebih memilih pergi ke kantin bersama Diki dan Rama.

Sesampainya di kantin, mereka langsung duduk di bangku yang masih kosong. Banyak para murid yang membicarakan mereka bertiga, tapi mereka tidak pernah peduli dengan itu.

Kali ini Rama yang akan memesan makanan. Dia sedang ingin melakukan hal baik. Jadi, dengan sangat senang hati Rama menawarkan diri, untuk memesan makanan. "Gue aja yang pesenin. Kalian mau makan apa?"

"Gue samain kayak lo aja," jawab Diki singkat.

"Gue mau batagor sama es teh manis," ucap Afifah memberitahu makanan apa yang dia mau.

"Oke," Rama segera pergi untuk memesankan makanan.

Selama menunggu Rama memesan makanan, Afifah dan Diki mengobrol bersama. Lebih tepatnya, Afifah yang terus saja mengoceh tentang rasa cintanya kepada Dika, sedangkan Diki hanya mendengarkan dan menjawab seperlunya saja.

"Ki, kalau gue liat-liat lagi. Lo sama Dika agak mirip ya?" ucap Afifah tiba-tiba.

"Masa sih?" Walaupun gugup, Diki berusaha bersikap tenang.

"Iya, kalian ada hubungan kekeluargaan ya?"

"Kata siapa?"

Saat Afifah akan membalas perkataan Diki, Rama datang dan langsung menyimpan batagor yang dia bawa di atas meja. "Pesanannya sudah sampai, Pak, Bu."

"Minumannya mana?" Afifah bertanya, ketika tidak menemukan minuman yang dia pesan.

"Tangan gue cuman dua, yakali gue bawa minuman sama makanan. Lo mikir dong!" Sahut Rama emosi.

"Oh, biasa aja kali. Terus siapa yang bawa minumannya?" Afifah menjadi merasa bersalah kepada Rama.

"Tuh Pak Surya yang bawa." tunjuk Rama pada Pak Surya yang sedang berjalan ke arah meja mereka sambil membawakan minuman.

Afifah hanya ber-oh ria saja, sedangkan Diki lebih memilih untuk mengambil makanannya dan memakannya.

"Makasih, Pak." ucap Rama, Diki dan Afifah bersamaan kepada Pak Surya, setelah Pak Surya menyimpan minuman yang mereka pesan di atas meja mereka.


####

Halo Poo, bagaimana kabarnya? Pasti baik dong.

Makasih buat yang udah baca😙

Jangan lupa vote dan komen juga ya😉

Karena satu vote dari kalian itu berharga banget buat aku.

Jangan lupa follow ig aku
@wtpdnissa07

Kembar tapi Berbeda (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang