-Dua puluh Delapan-

1.6K 43 2
                                    

Sudah seminggu sejak kejadian di mana Diki dan Dika kecelakaan. Sekarang mereka berada di rumah sakit dan belum sadar. Keadaan Diki lebih parah daripada keadaan Dika. Ini membuktikan, kalau Diki berhasil melindungi Dika.

Afifah dan Rama setiap hari mengunjungi mereka dan berharap mereka berdua segera sadar. Begitu juga dengan Gino, Rizal, Leo dan Rafael. Mereka selalu datang ke rumah sakit dan melihat bagaimana keadaan Dika dan juga Diki.

Mereka semua hanya berharap, agar Dika dan Diki bisa secepatnya bangun, lalu bisa melakukan aktivitas seperti biasanya.

"Kenapa kalian harus kecelakaan coba? Mana kecelakaannya barengan lagi, kan, gak lucu."

Gino langsung saja menjitak jidat Rizal. Rizal memang tidak pernah tau waktu yang tepat. "Siapa yang bilang lucu, bego."

"Aww... Ya gak ada, makanya gue bilang gak lucu." Rizal mengusap-ngusap jidatnya yang terasa sakit.

"Udah-udah! Lagi di rumah sakit juga, masih aja ribut. Kita kesini buat jenguk Dika sama Diki." tegur Rafael kepada kedua sahabatnya.

"Tau tuh, kalian ribut mulu. Apa jangan-jangan kalian kembar kayak si Dika dan Diki?" Leo tiba-tiba saja mengatakan sesuatu hal yang tidak masuk akal.

"Heh! Kalau ngomong itu jangan sembarangan! Ya kali gue sama dia kembar," Gino sangat tidak terima dengan apa yang di katakan oleh Leo.

"Iya, kita jelas berbeda kali." sahut Rizal. Dia juga tidak terima di sebut sebagai kembarannya Gino.

"Ya siapa tau aja," Leo hanya mengangkat bahunya acuh.

Rafael hanya bisa geleng-geleng kepala. Memang sahabatnya yang paling normal hanyalah Dika seorang. Maka dari itu, Rafael sangat berharap Dika segera bangun. "Lo harus bangun, Ka! Jangan biarin gue menghadapi mereka sendirian."

"Apa maksud lo?" Rizal, Gino dan Leo tidak terima dengan apa yang di katakan oleh Rafael.

Rafael hanya mengangkat kedua bahunya acuh, lalu segera pergi darisana. "Ayok kita pulang! Biarin mereka berdua istirahat. Kalau kita di sini terus, bisa-bisa mereka gak sadar."

Walaupun tak mengerti maksud dari perkataan Rafael. Gino, Rizal dan Leo menurut saja. Mereka semua segera pergi menyusul Rafael.

Bryan dan Dina jadi merasa bersalah kepada Diki dan Dika. Coba saja, kalau Dika tidak menyusul dan memberi kejutan. Mungkin ini semua tidak akan terjadi, tapi ini semua adalah takdir dan takdir tidak bisa di ubah. Mereka hanya bisa berdoa, agar Diki dan Dika bisa secepatnya sadar.

Dina tentu saja sangat syok saat mengetahui kalau kedua anaknya mengalami kecelakaan. Bahkan, dia sempat pingsan dan di rawat di rumah sakit ini. Keadaannya juga sangat tidak baik.

Bryan tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa merawat juga menenangkan istrinya. Jujur, dia juga sangat merasa sedih dan terpukul, tapi apa boleh buat lagi. Dia harus menyembunyikannya. Dia tidak boleh menambah beban istrinya, karena dia adalah seorang kepala keluarga.

Kini mereka berada di ruangan tempat Dika berada. Karena keadaan Dika sudah membaik, jadi dia di pindahkan ke ruang Rawat Inap. Sedangkan Diki, masih berada di ICU dengan keadaanya yang masih kritis.

Dina menggenggam erat tangan Dika yang sedang di infus. Dia beberapa kali menciuminya, Dina sangat merasa bersalah kepada putra bungsunya itu. Dia tidak mau kehilangan kedua anaknya. Tidak mau.

Bryan hanya bisa memandang istrinya dan sesekali menenangkan istrinya. Mereka tadi sudah dari ruangan Diki dan sekarang giliran Dika yang mereka kunjungi.

Dina terus saja menangis dan menggenggam lengan Dika. Namun, tak lama setelah itu, tangan Dika bergerak-bergerak. Dina yang menyadari hal itu tentu saja sangat senang. Dia segera memberitahu Bryan dan Bryan segera memanggil Dokter.

Kembar tapi Berbeda (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang