Setengah tahun sudah Yanti menyandang status sebagai seorang janda. Dirinya tak lagi terlalu memikirkan apa yang sekarang mantan suaminya tengah dilakukan. Mungkin saja mantan suaminya sudah menikahi wanita idamannya yang kala itu ia perjuangkan untuk menjadi madu Yanti. Walau sudah tidak menikah lagi, beberapa kali ia sempatkan diri untuk kembali ke dokter spesialis kandungan dan memastikan bahwa rahimnya memang baik-baik saja. Rahim inilah yang membuatnya kukuh tak ingin disandingkan dengan wanita lain di dalam rumah tangganya.
"Nomor A35..."
Sebuah suara dari interkom memecah lamunannya. Ia pandangi kertas yang ia pegang dan memastikan bahwa ia tidak melewatkan gilirannya.
"Lima lagi... " lirihnya.
"GDABBRUUUKKK!!"
Sebuah suara jatuh membuat ia menoleh. Persis di sampingnya seorang bapak yang cukup berumur terjatuh. Segera saja ia bangkit dan memapah orang tersebut ke kursi di sampingnya. Terdengar suara nafas yang agak berat darinya.
"Terima kasih ya nak." Ucapnya sembari menepuk punggung tangan Yanti.
"Sama-sama, Pak... Bapak sendirian saja? Ada keluarga yang mendampi.."
"Pa...!"
Sontak Yanti dan Bapak tersebut menengok pada satu arah yang sama. Terlihat dua orang dokter tengah berjalan ke arah mereka. Seorang dokter memakai kaca mata dan satunya lagi tidak. Dokter betkacamata tersebut langsung duduk di depan Bapak tua tersebut.
"Papa... kan Randy bilang kalau ke rumah sakit tolong hubungi Randy. Papah nyetir sendiri kan ke rumah sakit? Papa ini nekat sih..."
"Hush... gak enak dilihat pasien-pasienmu, Papa kan ada asuransi..." jawabnya.
Mendengar percakapan mereka Yanti segera duduk di kursinya dan kembali menunggu gilirannya untuk pengambilan obat.
"Terima kasih ya Mbak sudah menolong Papa saya.." ucap seseorang tiba-tiba di hadapan Yanti.
"Sama-sama, Dokter..." jawab Yanti.
"Dokter Randy, ada pasien anak balita di UGD..!"
Bahkan sebelum perkataan Yanti dijawab kembali, seorang suster sudah menjerit ke arah dokter tersebut. Setelah memastikan bahwa papanya baik-baik saja, ia segera berlari menuju suster yang memanggilnya tadi.
"Kalo gitu saya pamit juga ya Om... saya ada jadwal operasi sebentar lagi.." dokter satunya lagi yang tidak memakai kacamata tersebut langsung pergi setelah mencium tangan Bapak tersebut.
"Anak saya dokter anak. Kalau yang satunya tadi sahabatnya sejak kecil. Ini saya panggil nak atau mbak?" Senyum bapak tersebut. Yanti segera menyalami tangan hangat itu.
"Saya Aryanti Kinantia, Pak... biasa dipanggil Yanti."
"Pasien Rumah Sakit juga? Atau mengambil obat orang tua?" Tanyanya lagi sambil membenarkan posisi duduknya.
"Pasien juga Pak, kebetulan lagi izin kerja tidak enak badan..."
Mungkin bagi beberapa orang yang kebetulan bertemu di Rumah Sakit, ini adalah hal biasa. Tapi mungkin takdirlah yang membuat segalanya tidak biasa.
Percakapan kali itu sangat singkat, setara dengan menunggu 3 nomor antrian. Tapi rupanya tak hanya hari itu mereka berdua bertemu. Dalam kurun waktu enam bulan, entah bagaimana Yanti selalu bertemu dengan Pak Alif Hanafi Yufrizal. Mulanya hanya bercakap sedang, hingga Yanti tau bahwa sesungguhnya Pak Alif sedang mengobati penyakit jantungnya.
Rupa-rupanya beliau adalah seorang Direksi di perusahaan ekspor-impor, yang setahun lagi akan pensiun. Keluarga beliau cukup terpandang, mengingat anak dan menantunya bukan orang sembarangan. Rata-rata adalah orang sukses. Salah satunya dokter yang pernah ia lohat di pertemuan pertama mereka. Pak Alif orang yang sangat mandiri. Ia tidak ingin keluarganya khawatir akan penyakitnya, sehingga ia lebih memilih menjalani pengobatan diam-diam seorang diri. Itu pun jika ia tak berpapasan dengan anaknya yang seorang dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Ingin Bahagia (TAMAT)
General FictionYanti adalah seorang janda yang sudah bercerai dengan suami pertamanya dikarenakan belum memiliki momongan. Dirinya dianggap mandul dan tidak sanggup bila suaminya ingin menikah lagi. Satu tahun setelah perceraian, Yanti ahirnya menemukan hidup nya...