BAB 15

6.9K 354 11
                                    

"Ini sudah ada kantung nya ya ibu... nah yg  ini janinnya. Bagus, sudah masuk delapan minggu."

Yanti memandang takjub pada layar yang menunjukkan sebuah janin yang sedang bersemayam di rahimnya. Perlahan air matanya menetes. Sudah seringkali ia kerumah sakit ini dulu ketika ia kerap memeriksakan rahimnya perbulan. Di tempat ini pula ia bertemu demgan mertuanya dan suaminya sekarang.

"Saya bersihkan dulu ya ibu, setelah ini kita ke meja ya..." sang dokter kandungan langsung memberaihkan sisa gel di perut Yanti. Tak lama keduanya sudah saling berhadapan di meja praktik dokter tersebut.

"Kurangin stres ya ibu, nanti bisa berdampak pada perkembangan janin. Juga ini saya resepkan penambah darah dan kalsium semasa kehamilan. Dua suplememt ini jangan sampai tinggal ya ibu. Ohya, ini suaminya gak ikut?" Tanya sang dokter sambil menulis resep di kertas putih.

"Su... suami saya bekerja di luar kota dok." Jawab Yanti. Sebisa mungkin ia tak ingin sampai sang dokter mengenal suaminya.

Tak lama Yanti telah keluar dari ruangan dokter tersebut sambil menenteng buku pemeriksaan kandungan. Dirinya sudah duduk di depan loket penebusan obat setelah ia membayar dikasir. Ia bersyukur saat ia terusir dari rumah mertuanya tempo hari karena kedatamgannya Qiara, suaminya sempat melemparkam segepok uang padanya. Alhasil, dengan uang itulah ia bisa memeriksakan keadaan kandungannya saat ini.

Tak lepas matanya memandang gambar usg di tangannya. Matanya berkaca-kaca melihat gambar itu. Selama ia menikah demgan Ridwan, segala cara ia tempuh untuk memiliki momongan. Bukan hanya secara medis, bahkan secara tradisional maupun herbal sudah ia jalankan hingga mencapai titik bayi tabung. Tetapi tak ada yang berhasil.

Kini, saat ia fokus meminta pada Maha Rabb untuk melembutkan hati suaminya, justru kado lain yang ia terima. Seorang anak.

"Jangan tunggu kesabaran gue habis. Pulang sekarang!" Bisikan di belakamgnya sontak membuat ia terkejut. Tak perlu bertanya siapa yang berbicara.

Yanti tidak  menjawab. Ia hanya diam menunggu namanya dipanggil. Ia yakin tak mungkin Randy akan berteriak dan murka di rumah sakit tempatnya bekerja.

"Pasiennya sudah ada, Dok"

"Oh... iya..."

Jelas Yanti mendengar seorang perempuan yang Yanti yakini suster pendamping suaminya. Tak lama suaminya sudah beranjak dari kursi di belakangnya bersamaan dengan namanya terpanggil.

Tepat saat selesai memasukkan suplemen dan buku ke dalam tasnya, Yanti segera beranjak. Langkahnya yang semula perlahan itu langsung berhenti ketika melihat sosok berbalut jas putih dan berkacamata. Mata keduanya bertemu. Yanti sangat yakin bahwa pria di depannya ini sangat tidak berminat berpapasan dengannya. Dari pada terjadi hal-hal tak menyenangkan, Yanti segera membalikkan tubuhnya untuk menghindari laki-laki itu.

"Tunggu." Ucapnya datar. Yanti segera memalingkan wajahnya ke Haris. Tatapan mata yang semula tajam dan benci berubah menjadi datar.

"Bisa bicara sebentar?" Ajak Haris yang mulai berjalan. Semula Yanti agak ragu untuk mengikuti pria itu. Tapi Yanti tahu bahwa tidak mungkin Haris akan menganiaya dirinya mengingat ini rumah sakit tempatnya bekerja.

Yanti mengikuti Haris berjarak lima langkah. Dengan pasti ia mengikuti sang dokter bedah yang ternyata menuntunnya ke ruangan dokter tersebut. Setelah mengeluarkan kunci dari dalam saku jasnya, pintu ahirnya terbuka.

Yanti masih terpaku di depan pintu saat ia melihat Haris sudah duduk di kursi kebesarannya.

"Silakan duduk dan tolong tutup pintunya." Ucap Haris. Agak ragu Yanti melangkah masuk ke ruangan Haris. Matanya sibuk menatap langit-langit memastikan apakah ada cctv yang dapat membantunya jika mereka berujung bertengkar kembali dan adu jotos. Tentu saja Yanti tak akan tinggal diam, dia akan melawan jika nyatanya Haris akan main pukul dan akan melindungi janinnya.

Hanya Ingin Bahagia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang