BAB 16

6.4K 331 6
                                    

Yanti masih menatap lirih dompet dan beberapa lembar uang berwarna merah disana. Berkali-kali ia melihat catatannya tentang vitamin, susu, penguat kandungan dan suplement perkembangan otak janin. Belum lagi biaya konsul dan usg, lalu tak lupa biaya konsul ke psikiater.

Dahulu saat memasuki bulan ke tiga usia kandungan Yanti, nyaris saja bayinya tak berkembang karena dirinya dilanda stres yang begitu besar. Selalu bermimpi buruk akan tersebarnya foto tak senonoh yang diambil tanpa permisi oleh suaminya membuat Yanti dilanda kekhawatiran yang besar. Belum lagi jemarinya yang selalu gemetar bila memgingat ancaman Randy kala itu. Ia tahu kapan foto itu diambil. Ia sangat ingat tatkala ia sedang sakit dan suaminya tetap memaksanya berhubungan badan hingga ia tidak sadarkan diri. Yanti sangat yakin saat itulah suaminya memgambil gambar dirinya untuk sebuah ancaman baginya kelak.

Dikala para ibu hamil menikmati masa trisemester pertama, dirinya justru mengalami asam lambung parah dan juga sulit tidur. Mengetahui kondisi Yanti yang parah, dokter pun menyarankan untuk mendatangi psikiater guna mengatasi kekhawatirannya yang sudah melebihi batas.

Sejak bulan ketiga itulah Yanti melakukan pertemuan sebulan sekali ke  psikiater dan menerima obat penenang dosis rendah yang aman untuk ibu hamil. Rupanya  tindakan itu pun berbuah manis, karena bayi yang ada di dalam kandungannya semakin sehat dan sekarang sudah memasuki bulan ke tujuh.

Tak perlu repot mengadakan tujuh bulanan, toh suaminya pun sekarang entah berada di Indonesia atau malah masih di luar negeri. Perlakuan keluarga suaminya pun sama tak pedulinya. Yanti bahkan sangsi ingin mengunjungi rumah mertuanya tersebut tanpa takut diusir. Ia ragu mengingat keluarga Rabdy pasti belum mengetahui kehamilan Yanti.

Tapi dari berbagai macam kekhawatiran itu, dirinya begitu bimbang di kala uang pemberian suaminya nyaris habis. Ia bemar-benar tak tahu bahwa biaya yang dihabiskan perbulan untuk semua obat-obatan yang ia konsumsi itu benar-benar menguras sakunya.

Ia hanya memegang kurang dari dua juta dan ia masih belum mempersiapkan biaya untuk kelahiran anaknya kelak. Belum lagi beberapa vitamin dan susu yang mulai menipis.

Dirinya menaiki lantai dua. Dua kamar disana terkunci tapat. Randy sudah mengantisipasi kalau-kalau dirinya bertangan panjang meraibkan barang-barang mewah disana. Tapi ia benar-benar buntu kali inj, hingga Ia melihat tv layar datar besar tempat biasa Randy atau Haris bermain game disana. Ia tahu bahwa benda itu menjadi jalan keluarnya bila ia tidak lagi memiliki biaya.

***

"Letak bayinya bagus. Coba kita lihat ya bu, siapa tahu gak ketutupan lagi nih biar tahu jenis kelaminnya." Sang dokter memutar alat di perut Yanti.

Dengan seksama ia melihat ke layar itu. Dadanya bergemuruh melihat pergerakan bayi yang begitu aktif.

"Naaahh... ini dia... jenis kelaminnya lelaki ya ibu..." jelas sang dokter. Yanti mengucap syukur. Apa pun jenis kelamimnya, Yanti sudah bersyukur diberikan bayi sehat dalam kandungan.

"Saya perhatikan ibu gak pernah bersama suami kesini?" Sang dokter bertanya sambil menuliskan resep. Yanti gelagaban. Mrlihat sikap Yanti, sang dokter tersenyum. Ia tatap mata Yanti lekat.

"Masih konsul ke dokter Mawar kan?" Tanya nya. Yanti mengangguk. Ia tak pernah bolos sekalipun melakukan kunjungan ke psikiater kenalan dokter Risa tersebut.

"Kalau ibunya bahagia, bayinya ikut bahagia. Perkembangan bayinya sangat bagus, berat badan bayinya juga sesuai. Tetap jaga kesehatan ya ibu."

Yanti mengangguk senang saat menerima resep dan segera keluar ruangan. Tak lupa ia langusng memakai maskernya. Ada alasan khusus mengapa ia memakai masker. Ia tak ingin berpapasan dengan Haris. Semenjak pertemuan terakhir mereka lima bulan lalu, Yanti langsung menghapal jadwal Haris di rumah sakit itu. Ia tak mau kalau-kalau bertemu dengannya dan melihat perutnya yang membuncit. Ia takut Haris akan langsung bertanya pada Randy.

Hanya Ingin Bahagia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang