BAB 26

6.7K 390 6
                                    

Randy sudah membuka jas putihnya dan ia tenteng di lengan kirinya. Ia masih menunggu di balik pintu sebuah ruangan periksa. Tak lama seorang pria dengan rambut potongan tentara dengan memakai jas putih yang sama keluar dari ruangan. Ia menyerahkan sebuah map coklat besar pada Randy.

"Gimana?" Tanya Randy gusar, masih dengan berbisik.

Pria itu tersenyum sambil menatap Randy sengan penuh tanya.

"Hasilnya bagus kok , dok... mungkin efek lelah atau stres. Tapi untuk diagnosa yang anda pikirkan, semuanya gak terdeksi." Jawabnya.

Randy menyentuh kepalanya dan menyugar rambutnya.

"Ok. Thanks, Ger. Tolong jangan bocor." Ucap Randy lagi.

"Beres. Tenang saja." Jawabnya.

Randy berjalan pelan ke arah parkiran. Ketika sudah duduk di kursinya, ia cek lagi ponselnya. Hanya ada pesan dari Qiara.

My hunny bunny QQ
"Sayang, jangan lupa malam ini ada acara makan malam dengan papa dan mama. Aku pikir ini ada hubungannya dengan pemilihan direktur rumah sakit. See you there..."

Randy tak membalas pesan itu. Ia tak menyangka, dua bulan menikahi Qiara dirinya sudah didaulat menjadi kandidat Direktur rumah sakit.

Ia sangat paham kenapa ia menjadi kandidat. Menjadi menantu satu-satunya keluarga Adinata adalah keuntungan besar untuk bernaung di dunia medis.

Tak perlu menebak siapa saingannya. Ia yakin nama Bara Alharis Bratadikara pasti masuk ke dalam kandidat. Tapi ia tahu kalau Haris bukan tipe mengejar jabatan. Ia hanya menjalankan profesinya sesuai dengan nuraninya.

Tak perlu Randy menanyakan apa saja prestasi pria itu. Selain bekerja di dua rumah sakit, Haris juga merupakan seorang dosen bergelar profesor termuda di fakultas tempat mereka menimba ilmu. Sudah lebih dari lima buku ia terbitkan. Belum lagi journal yang entah berapa banyak yang sudah ia buat. Jadi tidak heran jika pria itu begitu sibuknya. Belum lagi mengadakan seminar kala senggang.

Tapi entah mengapa ia tak terlalu mengharapkan menjadi direktur rumah sakit. Dibanding Haris, Randy hanya mengeluarkan satu buku, dan sedang mengerjakan bukunya yang kedua. Ia tak mengabdikan diri pada kampus tempatnya menimba ilmu, terlebih ia hanya praktek di satu rumah sakit saja.

Dahulu ia memimpikan membuka klinik bersama Qiara di kabupaten terdekat. Mengabdi sebagai dokter dan hidup tenang jauh dari hiruk pikuk kota. Nyatanya semua itu sulit. Ia bukanlah dokter yang ditugaskan di puskesmas. Mertuanya pemilik rumah sakit tempatnya bekerja, jadi tak mungkin ia serahkan semua pada Qiara yang ia yakini tak sanggup menopang beban seberat itu.

Randy menghidupkan mesin mobilnya. Ia perlahan membawa mobil itu keluar dari baseman rumah sakit dan menerjang jalan raya. Pikirannya buntu. Ia tak tahu akan kemana. Saat ia melihat jam, ia yakin sudah sore dan masih ada waktu hingga malam.

Jalan tak menentu arah membawanya ke depan sebuah perumahan yang tak asing baginya. Sejenak ia sandarkan dirinya di kursi. Ia buka ponselnya. Ia mencari sebuah nama.

Me
"Di rumah kosong, Bian?"

Selesai mengetikkan pesan, ia tunggu hingga mendapat jawaban.

Ya.

Sudah dua bulan ia tak melihat Yanti. Dua bulan itu ia terlalu sibuk dengan Qiara dan tak ada waktu untuk sekedar mengunjungi istri sirinya itu. Namun hari ini peruntungannya tepat. Ia yakin Qiara pasti di rumah mertuanya menyiapkan acara makan malam. Jadi ia tahu tak akan ada gangguan dari istrinya saat ia mengunjungi Yanti.

Hanya Ingin Bahagia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang