BAB 36

8K 520 45
                                    

Yanti bersyukur Raya yang rupanya terbangun malam, pada subuh hari belum membuka mata. Yanti segera memasuki area dapur selesai menunaikan solat subuhnya. Ia langsung sigap mengambil beberapa bahan yang akan ia kelola pagi ini. Ia sudah memutuskan akan membuat nasi uduk.

Masih ingat jelas semalam saat ia ke dapur mengambil minum untuk Raya ia mendengar sayup-sayup pertengkarang Nyonya Bintari dan Haris. Walau tak paham karena apa, tapi Yanti bertaruh karena perjodohan Haris dan Mawar.

Niat Yanti ingin menyuguhkan nasi uduk andalannya agar sang Nyonya dapat mendingin dan tidak marah lagi. Ia sendiri belum terlalu meluruskan kesalah pahaman Nyonya Bintari padanya. Ia tak ingin masalahny berlarut. Sebagai janda, ia tak mau jika ia kembali dituding macam-macam. Ia akan menjelaskan kepada Nyonya Bintari kala senggang nantinya.

Ia bersyukur ayam yang ia ungkep masih tersisa. Ia tak perlu lama menyiapkan segalanya. Ia ingat sehari sebelumnya memang sudah menghaliskan cabai yang akan ia olah menjadi sambal. Nasi sudah ia aron hingga sudah tercoum wanginya. Ayam pun sudah ia goreng beserta tahu dan tempe. Kini ia hanya perlu membuat telur dadar dan membuat sambal.

Tepat ketika pukul setengah tujuh semua sudah terhidang di meja. Ia sudah menyiapkan empat piring disana. Mengisi penuh air putih dan menyiapkan dua cangkir kopi dan dua cangkir teh hangat.

Jantung Yanti terpompa  melirik ke arah anak tangga. Ia begitu tegang menyambut Nyonya Bintri yang rupanya belum turun dari lantai dua bersama Binar. Tak lama sosok Harislah yang keluar lebih dulu dari dalam kamar. Yanti yang sejenak melihat kedatangan Haris kontan menjauhkan diri dan langsung menuju sink untuk menyuci piring kotor.

Suara kursi yang berdecit ditambah isapan kopi membuat Yanti paham bahwa sosok itu sudah duduk duluan di meja makan.

"Bisa kita bicara sebentar?" Tanya Haris tiba-tiba. Yanti mematikan kran dan menengok ke arah majikannya tersebut. Haria sedang menatap ke arahnya dengan pandangan tajam.

Yanti yang mengerti segera mendekati meja makan. Sesekali ia lihat ke anak tangga memastikan tak ada Nyonya Bintari.

"Iya, mas?"

Dilihatnya Haris memainkan jarinya pada cuping cangkir kopi yang baru saja ia seduh.

"Kamu sudah bercerai dengan Randy?"

Yanti segera mengangguk. Dilihatnya Haris hanya mengernyitkan dahinya.

"Kapan? Kenapa aku nggak tahu?" Tanya Haris yang entah mengapa ikut melihat ke arah tangga yang masih kosong.

"Kemarin. Mbak Binar membawa saya menemui dokter Randy. Lalu kami bercerai." Jelas Yanti.

Nyaris saja Yanti melihat ke dalam bola mata Haris yang jernih itu. Ia belum lupa tentang cerita Qiara padanya. Pria di depannya ini sudah melihat apa isi ponsel dari mamtan suaminya itu. Tapi ia paham ini bukan waktunya untuk membahas semua itu.

"Baguslah... Lalu selanjutnya bagaimana?" Tanya Haris lagi pelan.

Yanti melirik ke dokter bedah itu. Ia masih memikitkan pertanyaannya. Apakah artinya ia tak bisa tinggal di rumah ini lagi? Atau ia menanyakan berapa lama lagi Yanti akan tinggal di rumah ini? Pertanyaan ambigu, pikir Yanti.

Belum sempat menjawab, sosok Nyonya Bintari dan kedua anaknya sudah menuruni tangga. Yanti segera menghindar. Ia tak mau dituduh macam-macam sepagi ini.

"Wah... nasi uduk..." seru Binar.

Yanti yang sudah paham dengan Binar segera mengambil sebuah piring kecil berisi telur mata sapi yang kemudian ia taruh di sisi Binar. Ia tahu sekali Binar lebih suka telur mata sapi ketimbang telur dadar.

Hanya Ingin Bahagia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang