BAB 22

7K 434 3
                                    

"Peek a boo" bisik Randy.

Keterkejutan Yanti membuat Randy mengambil kesempatan untuk mengunci pintu di belakangnya. Ia masukkan kunci tersebut ke dalam kantung celana bahannya.

"Gue pikir lo dan anak lo sudah membusuk di tempat sampah. Rupa-rupanya lo malah disini." Kekeh Randy. Suara sepatunya yang menyentuh lantai membuat jantung Yanti tak karuan. Matanya bisa menangkap Randy berjalan perlahan ke arahnya yang masih terkejut kaku. Berkali-kali ia melihat ke arah Raya yang masih berbaring di karpet ruang tv.

"Do you miss me?" Bisik Randy berbahaya.

Melihat sorot mata Randy yang menggelap membuat Yanti tersadar. Ia berbalik dan berlari ingin menghampiri Raya, sebelum...

"Aakkhh!!" Randy sudah menarik rambutnya dengan kuat hingga ia mendongkak menatap wajah Randy yang tengah menyeringai.

"Mau kemana? Buru-buru banget..." bisik Randy di telinga Yanti seraya menggigitnya pelan.

"Gue kangen pelac*r gue.." bisik Randy lagi yang sudah menjilat lubang telinga Yanti. Tangan kanannya tak tinggal diam dan meremas keras pinggang Yanti.

"Lepas!!" Yanti berontak sekuat tenaganya. Jeritan Yanti sontak membuat Raya yang kaget akhirnya menangis.

"Berisik!" Sela Randy menatap marah pada Raya yang sedang meraung-raung di atas karpet.

"Kita pindah. Gue sudah gak tahan..." bisik Randy lagi yang sudah membekap mulut Yanti dan menyeretnya menjauh dari Raya.

Bukan Yanti namanya jika ia tak melawan. Ia bukanlah Yanti yang dulu. Nyaris sebelum memasuki area ART, Yanti menginjak sepatu Randy dengan kuat. Dirinya terlepas. Dengan cepat Yanti berlari ke arah laci di ruang tv. Ia mencari kunci cadangan yang tadi pagi dikatakan oleh Binar. Ia berusaha mencari agar ia segera membawa Raya pergi dari rumah itu. Tapi tak ia temukan apa pun disana, hanya beberapa map dan amplop coklat.

"Huueee.... hueeee...." tangisan Raya yang membesar membuat Yanti memalingkan wajahnya. Betapa terkejutnya ia ketika Randy mengangkat Raya tinggi-tinggi.

"Bener-bener berisik!" Sentaknya pada bayi itu.

"To... tolong... tolong turunin Raya..." isak Yanti yang memohon pada Randy. Pria itu menengok ke arahnya dan menurunkan Raya hingga wajah ayah dan anak itu sejajar.

"Nurut sama gue, atau gue banting anak lo..." ujar Randy kejam dengan seringainya bagai iblis. Yanti menggeleng kuat dan mengangguk cepat. Perlahan Randy turunkan Raya yang masih menangis meraung-raung di atas karpet.

Dua jemari Randy berayun memanggil Yanti ke arahnya. Dengan kaki gemetar, didekatinya Randy. Jemari Randy naik ke dagu Yanti mengajaknya untuk menengadahkan wajah Yanti agar mendongkak menatap Randy. Pegangan itu berubah menjadi cengkraman kuat di dagunya. Belum selesai Yanti meringis, Randy sudah mendaratkan bibirnya di bibir Yanti dengan kasar. Seolah hasrat yang selama setahun ini tak ia gapai.

"Masih sama..." bisiknya seduktif.

***

Mata Haris membulat. Tepat di carpotnya sebuah mobil mewah jenis sedan hitam terparkir di sana. Buru-buru ia tepikan mobilnya persis di samping kendaraan kesayangan sahabatnya itu. Niatnya mengambil bekal yang tertinggal mendadak berubah horor melihat mobil Randy terparkir dengan apik.

"Shit!!" Jerit Haris yang buru-buru menuju bagian depan rumah. Ia dorong pintu besar itu. Tak terbuka. Pintu itu masih dalam keadaan terkunci. Dapat ia dengar sayup-sayup suara tangis Raya. Haris segera merogoh kunci dari kantung celananya.

Benar saja. Raya tengah meraung-raung dengan keras. Haris setengah berlari menghampiri bayi tampan itu. Ia angkat Raya dan terlihat wajahnya sudah memerah, wajahnya basah air mata dan cairan dari hidungnya. Ia seka perlahan hidung bayi itu. Tak diduga, Raya menyentuhkan kepalanya pada dada bidang Haris. Menggosok-gosokkan wajahnya disana. Haris tahu. Raya tengah haus.

Hanya Ingin Bahagia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang