Bukan hanya Bian, bahkan Yanti sudah terkejut kala mendapati Haris yang baru saja menghadiahkan bogem mentah pada adiknya. Bahkan tanpa memerdulikan Bian yang masih terduduk di lantai itu, Haris langsung menyambar lengan Yanti dan menyeretnya. Ia sempatkan mengambil kunci mobilnya dan semakin membawa Yanti menjauhi sosok Bian yang tengah mengusap pipi kirinya.
Disinilah ia berada, masih dengan Raya yang rupanya tertidur di pelukannya. Ia tak berani mengucap satu kata pun dengan Haris yang memegang stir dengan kuat. Bahkan ptia itu hanya memakai kaos rumahan dan trainingnya saja saat tadi menyeret Yanti keluar dari rumah dan membawanya pergi.
"Cepat minta maaf..." ucap Haris sambil menggemelatukkan giginya dengan kuat.
"Ya?" Yanti yang sedari tadi hanya memandangi jalan terkejut saat Haris membuka suara tanpa menangkap perkataannya.
"Kubilang 'cepat minta maaf'..." gerutu Haris lagi yang masih bersuara rendah berbahaya.
Yanti mengernyitkan dahinya. Ia bingung kala disuruh untuk meminta maaf. Setahunya bukan ia yang sudah meninju Bian.
"Untuk apa?" Yanti bertanya perlahan sambil menatap Haris yang sibuk berkendara.
"'Untuk apa?' Apa maksud ucapanmu barusan?"
"Maaf karena selama ini saya sudah merepotkan and, dokter Haris?"
Perkataan Yanti barusan langsung bisa membuat Haris akhirnya menepikan kendaraannya. Ia memiringkan tubuhnya untuk menghadap pada wanita beranak satu tersebut.
"Siapa yang kamu panggil Haris?" Desis Haris lagi.
Yanti yang melihat sorot mata Haris yang berbeda tak lagi mampu menatap sosok galak tersebut. Ia memalingkan wajahnya untuk melihat ke arah jendela, tempat favoritenya.
"Aku ulang, siapa yang kamu panggil HARIS?! Kamu dengar Aryanti Kinantia?!" Haris meninggikan suaranya. Hal tersebut kontan membuat Raya menggerakkan badannya seakan ingin terbangun. Tetapi Yanti segera mengusap punggung anak lelakinya tersebut agar kembali terlelap.
Melihat Raya yang tiba-tiba menggeliat tersebut Haris dirundung rasa bersalah, ia seakan ingin memukul stir mobil akan tetapi ia urungkan. Ia tak mau kembali membuat Raya kembali terbangun.
" Saya nggak akan memanggil anda dengan nama 'Bara' lagi dok. Saya akan kembali memanggil anda dengan nama Haris seperti yang dulu saya lakukan terhadap anda..." lirih Yanti.
Haris langsung menjambak rambutnya frustasi.
"Ya tuhan... apalagi ini... kesalku belum hilang saat kamu tiba-tiba memutuskan ingin ke Jeddah. Belum lagi kamu tambahkan dengan berita perceraianmu yang aku sendiri nggak tahu! Lalu pagi tadi kamu bahkan tak menolak saat didekati oleh driver mommyku... Lalu sorenya aku mendapatkan kamu bersenang-senang dengan adikku! Astaga... kamu mau buat umurku berkurang?!" Tanya Haris dengan tidak sabar.
"Saya belum sempat menceritakan perceraian itu, karena dokter Ha-"
"BARA! namaku BARA, Yan! Sekali lagi kudengar kamu menyebut namaku 'Haris', aku nggak yakin bukan cuma Randy yang bisa menyiummu! Ingat! Kamu sudah janda sekarang!" Kini Haris memperingati Yanti dengan tegas. Wanita satu anak itu memandang ngeri pada pria di sampingnya tersebut. Kini ia tahu bahwa lelaki itu memang benar-benar murka padanya. Padahal ia sudah diwanti-wanti oleh sang Nyonya agar tak menyebut nama Haris dengan 'Bara' lagi.
"Saya belum sempat cerita, karena kedatangan Nyonya Bintari. Saya hanya bersikap formal pada Pak Kardi, walau sebenarnya saya nggak nyaman dengan percakapan dengan beliau. Sore ini saya cuma berbelanja buah dengan mas Bian. Saya tahu saya janda, tapi sungguh, saya hanya berbelanja dengan mas Bian." Yanti memutuskan tak membicarakan perihal pembicaraannnya dengan Bian. Ia tak mau menelaah lebih dalam perkataan adik dari pria di sampingnya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Ingin Bahagia (TAMAT)
General FictionYanti adalah seorang janda yang sudah bercerai dengan suami pertamanya dikarenakan belum memiliki momongan. Dirinya dianggap mandul dan tidak sanggup bila suaminya ingin menikah lagi. Satu tahun setelah perceraian, Yanti ahirnya menemukan hidup nya...