Raya Alkahfi Yufrizal.
Nama itu kudapatkan selesai aku mengazaninya. Bidan puskes yang memberitahuku.
"Saya boleh gendong, Bu?" Tanyaku.
Sang bidan tersenyum. Ia mengangkat Raya yang tengah tertidur pulas.
"Boleh, Prof... tapi sebaiknya cuci bersih tangan dulu ya, Prof."
Aku langsung berjalan tergesa ke kamar mandi. Kupastikan tanganku sudah bersih. Lalu ku lepas kemeja hitamku, menyisakan baju kaos berwarna abu-abu. Setelah kumasukkan kemeja itu ke dalam tasku, segera kudekati mahkluk mungil itu.
"Mau di kanan atau kiri, Prof?" Tawarnya.
Aku langsung menggerakkan tangan seolah membayangkan ia digendonganku.
"Kiri." Putusku, saat kurasa posisi itu lebih nyaman.
Ibu bidan langsung memberitahu posisiku agar tak terlalu kaku dan memeraktekkan bagaimana cara menggendong bayi berumur setengah jam itu. Dirasa aku mulai mengerti, ia angsurkan Raya di lenganku.
Ya Allah...
Mungil...
Kecil...
Ringkih...
Aku serasa sangat ingin melindunginya. Memastikannya aman. Melihatnya tumbuh dan berkembang.
"Sudah pantas, Prof..." goda Ibu bidan.
Aku hanya tersenyum dan menimang Raya dalam dekapanku.
"Kasihan... Ayahnya tak ada di sini. Terpaksa Profesor yang mengazani. Ibunya pun tak mengatakan kemana sang ayah. Saya pun nggak berani bertanya lebih jauh." Ujarnya. Ia duduk di salah satu bangku di dekat keranjang bayi yang kosong.
"Bagaimana keadaan ibunya, Bu?" Aku langsung teringat keadaan Aryanti.
"Alhamdulillah baik. Sedang dibersihkan dan istirahat. Sebelumnya sudah inisiasi dini. Makanya langsung saya bawa agar diazani..."
Aku mengucap syukur. Aku lega keduanya sehat dan selamat. Tak ada lagi yang kurang rasanya.
"Ohya, bagaimana dengan ari-ari Raya, Bu?" Tanyaku.
Sang bidan sontak terkejut.
"Oh... sedang dibersihkan bidan magang. Setelah ini biasanya akan kami balut kain putih dan dimasukkan ke dalan bejana dari tanah. Puskes kami menyediakan kok, Prof..." ujarnya.
Aku langsung terkesima mendengarnya. Rupanya puskes ini memberikan pelayanan yang begitu baik. Bahkan hal-hal kecil seperti ari-ari bayi baru lahir.
Tiba-tiba aku mendapatkan ide. Aku tahu. Tak mubgkin ia yang melakukannya dengan keadaan habia melahirkan seperti ini.
"Maaf, Bu Bidan. Apakah saya bisa minta bantuan Ibu?" Tanyaku.
Ibu Bidan mengernyitkan dahinya. Seolah menunggu bantuan apa gerangan yang kuperlukan.
Aku tak tahu dari mana semua hal-hal ini dipermudah. Aku masih memerhatikan sebuah guci ukutan kecil berbahan dasar tanah liat di samping bangkuku.
Ya.
Aku tadi meminta tolong kepada bu bidan untuk membantu pasien menguburkan ari-ari itu. Syukurnya ia memberikan izon dan akan beralasan bahwa ari-ari sudah dibantu kuburkan oleh staf puskes untuk meringankan beban pasien.
Tujuanku satu. Rumah baruku. Sebentar lagi rumah itu akan aku huni. Pilihan tepat mengingat rumah itu masih kosong. Jadi tak perlu repot menjelaskan pada Binar dan Bian jika melihatku menggali tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Ingin Bahagia (TAMAT)
General FictionYanti adalah seorang janda yang sudah bercerai dengan suami pertamanya dikarenakan belum memiliki momongan. Dirinya dianggap mandul dan tidak sanggup bila suaminya ingin menikah lagi. Satu tahun setelah perceraian, Yanti ahirnya menemukan hidup nya...