BAB 12 - Sebuah Pernyataan

5 4 0
                                    

Saat bertemu dengan Kanzia pertama kali di cafe, Eza bisa bersikap normal seperti pada umumnya. Tak ada rasa lain selain kecanggungan diantara mereka. Lalu saat Eza mengetahui sedikit tentang Kanzia an juga pertemuan kedua mereka yang terkesan aneh karena sikap kekanakan Rein. Lalu pertemuan lainnya yang hadir seperti di cafe tadi layaknya dua garis lurus yang kebetulan bersinggungan.

Eza pria bebas yang memiliki segalanya, ketampanan, kekayaan, dan kekuasaan ada pada dirinya. Dia pernah mencintai dan merasa dicintai oleh banyak orang. Memiliki keluarga itu yang selalu ada untuknya membuatnya hidup bahagia. Ditambah ketiga sahabatnya yang menjadi tempat berbagi cerita hidupnya.

Selayaknya orang biasa, Eza memiliki perasaan yang dapat merasakan banyak hal. Sedih, bahagia, kecewa, marah, bahkan cemburu. Namun, Eza sedikit tak mengerti dengan perasaan pada dirinya saat ini. Dengan menyembunyikan dibalik wajah tak berekspresi dia berjalan memasuki gedung perusahaan menuju ruangan kebesarannya. Dia merebahkan punggungnya di sofa lalu memijat dahinya sambil mengartikan perasaan dalam dirinya.

Sejak menjadi CEO dirinya merasa seperti bukan dirinya lagi. Entah kenapa, tapi dia masih tak mengerti. Tapi sering memikirkan Kanzia. Dia ingat entah kenapa dirinya mengunjungi Kanzia di akhir pekan dua minggu yang lalu dan hampir sepanjang harinya itu ia habiskan bersama Kanzia. Dia ingat saat itu melihat Kanzia begitu bahagia bernyanyi bersama para anak-anak panti di atas panggung. Dia bisa merasakan kebahagiaan yang Kanzia rasakan. Rasanya sangat berbeda dengan kebahagiaan yang pernah ia rasakan sebelumnya.

Tiba-tiba Eza merasa pintu ruangannya terbuka, ia mengangkat kepalanya dan menoleh ke pintu. Terlihat Rein muncul dengan gelagat tak baik. Sahabatnya itu sepertinya sedang mengalami hal buruk. Dan dia akan mendengar cerita Rein hanya untuk ketenangan sahabatnya itu. Ya, sejak akhir-akhir ini dirinya menjadi tempat bercerita Rein dan menggantikan posisi Azri tempati sebelumnya.

"Katakan!" Ucap Eza malas. Dirinya sendiri sedang dalam suasana hati yang juga buruk, tapi setidaknya dia masih bisa menahannya untuk saat ini.

Rein menggelengkan kepalanya lalu duduk di samping Eza sebelum berkata, "ayahku menjodohkanku lagi."

"Dengan?"

"Seorang model." Jawab Rein dengan anda yang enggan. "Dia menyuruhku juga untuk pergi berkencan sore ini." Rein hampir menjerit jika sebuah ketukan tak terdengar dari pintu.

Eza memperbaiki posisi duduknya, "Masuk."

"Hai!" Sapa Aksa yang telah memasuki ruangan. "Bukankah kau memiliki jadwal kencan buta Rein?" Tanya Aksa yang melihat gelagat Rein yang murung.

Rein terkejut dan langsung membuka mulut untuk membalas.

"Saudaramu tadi menghubungiku." Aksa langsung menyela sebelum Rein berkata. "Dia memintaku mengingatkanmu jika bertemu." Tambahnya dengan santai lalu memberikan map yang dia bawa pada Eza.

"Kau menjadi mata-matanya?" Tanya Rein dengan tatapan penuh selidik.

Aksa menanggapi dengan santai, "tidak, kami hanya membantu ayahmu untuk segera menimang cucu."

Kelopak mata Rein melebar, dia tentu saja terkejut sekaligus tak suka. "Kenapa tak dia saja yang menikah, bodoh?" Teriak Rein yang tertahan saat matanya tanpa sengaja menangkap tatapan tajam Eza yang memperingatinya.

"Pergilah ke perusahaanmu, Rein! Aku memiliki pekerjaan penting sekarang ini!"

Dengan hati tak ikhlas, Rein beranjak pergi dengan wajah kecewa. Kehadiran Aksa membuat suasana hatinya semakin buruk saja.

"Jangan lupa kencan butamu itu!" Ucap Aksa setengah berteriak saat Rein berada di ambang pintu.

"Bagaimana perkembangan rancangan proyeknya?" Ucap Eza yang membuka map yang diberikan Aksa padanya tadi lalu membacanya.

Masih Tersekat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang