BAB 36 - Mari Mengakhiri

5 3 0
                                    

Manusia selalu berharap akan hal baik terjadi padanya ketika berusaha. Beberapa di antaranya sudah berjaga-jaga dan memprediksi kemungkinan lain yang bisa terjadi selain harapan mereka. Tapi tetap saja ketika hal buruk terjadi mereka pasti merasakan gejolak negatif dalam diri mereka meskipun tak sekuat bagi mereka yang terlalu berharap kemungkinan baik tanpa persiapan apapun.

Seperti itulah yang Kanzia rasakan saat ini dan itulah bentuk pertahanan diri yang dilakukannya.

Terluka lagi dan lagi, kembali pada titik yang sama. Jika yang kedua, ketiga dan seterusnya datang baginya sudah biasa dan tak begitu mengejutkan seperti yang pertama kali. Dan Kanzia sudah memiliki perlindungan untuk dirinya agar tahan terhadap hal itu. Tapinya nyatanya tidak!

Kanzia tak tahan dan justru lari lagi mencari kesendirian dan mencoba memulai yang baru. Menjauhi segala sesuatu yang berhubungan meskipun ia tau bahwa itu mustahil dan kehidupan ini saling berhubungan.

"Kanzia!"

Kanzia tersentak saat seseorang memanggilnya. Ia mengenal betul siapa pemilik suara itu. Ia sendiri sudah tau akan bertemu, tapi tetap saja dalam lubuk hatinya tak siap. Ia memaksa diri untuk tersenyum dan menyapa singkat.

" Kau membuatku sangat khawatir. Bagaimana bisa kau kabur sejauh ini? Semua orang mencarimu." Cecar Lala setelah melepaskan pelukannya pada Kanzia.

"Semua akan baik-baik saja, Lala." Ucap Kanzia yang terdengar seperti pertanyaan.

"Tidak semua." Timpal Lala. Ia tak akan mengatakan jika Rein bisa saja dihajar oleh Xavier karena ketahuan membantu Kanzia bersembunyi.

Kanzia mengerti tatapan sendu Lala. Ia menoleh pada Rein lalu tersenyum. "Semua butuh waktu yang tak bisa dipastikan." Ucapnya menatap Lala dan Rein bergantian.

***

Eza menatap lembaran kertas di hadapannya. Ia tau hal yang ia lakukan sekarang ini sia-sia. Pikirannya terus berkelana mencari keberadaan Kanzia. Bandung cukup luas. Menunggu kabar dari orang yang ia suruh semakin membuatnya gusar saat matahari beranjak dari langit.

"Sial! Sampai kapan mereka terus mencari?"

Xavier menghela nafas melihat Eza. "Kau terus mengabaikan ponselmu yang berdering itu? Angkat panggilan Elv itu! Kau tak bisa menghindarinya! Dia adikmu." Ucapnya lalu kembali memeriksa dokumen pekerjaan Eza yang banyak terabaikan sejak kepergian Kanzia.

"Aku tak bisa." Balas Eza yang terlihat frustasi. Pikirannya terbagi dengan kacau. Kanzia yang masih taka da kabarnya, Elv yang masih berhubungan dengan Raphael, dan juga pekerjaannya yang harus diselesaikan dengan cepat.

"Kau sedang terbawa emosi. Tenanglah!"

"Diam, kau!" Eza menggebrak meja. Kali ini meja kerjanya yang untungnya terbuat dari kayu berkualitas sehingga tak bernasib naas seperti meja di depan sofa.

Xavier mengangkat kedua tangannya. Tapi ia tak menyerah. "Jika Elv menurutimu untuk menjauhi Raphael. Kau juga harus menuruti Raphael untuk menjauhi Kanzia." Ucap Xavier yang dengan santai menyinggung Eza secara langsung.

Eza termenung mendengarkan ucapan Xavier. Raphael menggunakan Elv sebagai ancaman untuknya agar tak melukai Kanzia.

Xavier menarik sudut bibirnya dan menyeringai melihat reaksi Eza lalu mengambil ponselnya di saku jasnya. "Kali ini dia menelponku." Ucapnya lalu mengangkat telepon tersebut.

Eza lantas memutar kursinya dengan kesal. Ia berusaha mengabaikan Xavier yang tengah bertelepon dengan adiknya. Entah apa yang mereka bicarakan.

"Dia ada di depanku." Ucap Xavier dengan pandangan tak lepas dari gerak gerik Eza yang tak tenang. "Baiklah."

Masih Tersekat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang