BAB 24 - Bagian Luka

10 3 0
                                    

Seorang anak kecil menyembulkan kepalanya di balik pintu yang setengah terbuka. Mata jerninya mencari keberadaan sang ibu di kamar.

"Ma?" Panggil anak itu sambil melangkahkan kaki kecil menuju sang ibu yang tengah memungguinya. "Mama nangis?" Tanya anak itu polos.

Wanita itu tersenyum sambil mengusap lembut rambut panjang putrinya. "Mata Mama kelilipan tadi."

Gadis kecil itu berhambur memeluk ibunya. "Papa mana, ma? Kok gak pulang? Katanya mau temanin Zia beli buku." Wajah Zia kecil begitu murung saat mengatakannya. "Papa masih kerja ya, ma?"

"Papa cari uang untuk Zia biar nanti Zia hak perlu khawatir bakalan kelaparan."

"Tapi, kan uang kita udah banyak, ma. Mama juga kerja kayak papa."

"Anak pintar." Wanita itu mengacak rambut putrinya hingga anaknya mengadu kesal. "Kan Zia nanti bisa beli mainan kalau uang mama sama papa banyak."

"Tapi Zia gak butuh mainan kalau mama dan papa ada ngajak Zia main."

Sang ibu mengangkat tubuh Zia kecil ke pangkuannya dan memeluknya penuh kasih sayang. "I love you."

"Apa itu mama?"

"Itu artinya 'mama cinta banget sama Zia'."

"Cinta?"

"Ya, itu adalah hal yang luar biasa yang bisa buat hidup bahagia."

"Seperti kita bertiga?"

Sang ibu tersenyum lembut mengusap lembut pipi putrinya yang berisi. "Ya, seperti kita bertiga." Ucapnya

Wajah Zia kecil berbinar menatap sang ibu. "I love you, mama." Ucap Zia kecil lalu membalas pelukan ibunya.

Setelah itu terdengar suara familiar yang memanggil Zia kecil.

"Papa?" Zia kecil langsung berlari menuju sumber suara dan berhambur memeluk ayahnya. "I love you, papa."

"I love you too, sayang."

Zia kecil langsung tersenyum bahagia kepada kedua orang tuanya.

***

"Salah aku apa hingga kamu begini? Kamu itu aneh banget!"

Zia kecil hanya bisa memeluk lututnya sambil bersembunyi di balik pintu saat mendengarkan pertengkaran kedua orang tuanya. Kepalanya menunduk dan terus menahan isak tangis saat mendengar nada tinggi penuh emosi yang saling bersautan.

"Kamu yang salah! Kalau kamu gak egois dan sadar diri semua gak akan terjadi."

"Kamu yang salah! Kamu yang harus ngerti!"

"Dan membiarkan kebrengsekkanmu terus menjadi-jadi?"

"CUKUP! Aku capek!"

"AKU JUGA CAPEK!"

Zia kecil tersentak saat mendengar suara gebrakan di belakang pintu punggunya. Dengan perlahan ia berdiri dan mengulurkan tangannya yang bergetar untuk menarik gagang pintu. Tubuh Zia kecil menegang saat melihat sang ibu di balik pintu yang terduduk sambil memegangi kepalanya. Terlihat ada bercak darah di sela jari yang mulai mengalir membuat Zia kecil tak mampu berdiri dan terjatuh di dekat sang ibu.

"Pergi, Zia!"

Zia kecil menggeleng. Tubuhnya begitu kaku saat melihat darah menodai wajah ibunya. Ia menoleh menatap ayahnya yang berdiri menatap amarah ibunya. Matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu yang sedang di pegang ayahnya dan sontak matanya langsung melebar.

"Pergi, Zia! Ayahmu sudah tak waras."

Kanzia kecil yang dulu tumbuh dengan kebahagiaan kini harus menelan kenyataan pahit saat usia 7 tahun akan kematian kedua orang tuanya yang saling membunuh di depan matanya. Sejak saat itu dirinya dirawat oleh kakek neneknya dan selalu mengurung diri.

Masih Tersekat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang