BAB 30 - Lama Tak Jumpa

2 2 0
                                    

Dari sekian banyak tempat yang bisa digunakan untuk menikmati waktu makan siang. Lagi-lagi ia dihadapkan dengan Rein yang tiba-tiba duduk di depannya ketika hendak menikmati hidangan yang telah dipesan.

"Kursi ini bukan milikmu. Begitupun meja ini. Jadi bukan masalah, kan?" Sekiranya itu yang diucapkan pria yang datang mengusik dirinya.

"Sudah lama tak bertemu. Kau tak merindukan pria tampan ini?"

Kanzia menggedikkan bahu. Nafsu makannya tertahan mendengar pertanyaan penuh percaya diri itu. Rein tidak akan memmbiarkannya tenang ketika bertemu. Dia memiliki banyak ide untuk mengusik Kanzia.

"Ceritakan sesuatu!"

Kanzia melirik Rein tak suka. Namun pria itu tersenyum membalasnya. Dan entah kenapa senyum itu terasa berbeda.

"Kau tau! Aku sering melihatmu saat berkuliah dulu." Ucap Rein. "Dan kau tak pernah melirik siapapun dan mengabaikan banyak orang terutama laki-laki... Kau tak membalas pesanku dulu."

Kanzia hanya diam tak membalas. Ia sadar akan sikapnya yang dikatakan Rein. Ia pernah mendapatkan nasihat dari teman sekampusnya dulu karena hal itu.

"Aku seniormu di jurusan yang sama." Ungkap Rein. "Kita juga pernah berada di divisi yang sama saat kegiatan di kampus."

"Oh."

"Hanya itu?" Rein tak percaya dengan tanggapan Kanzia yang begitu sederhana dan seadanya. Sedangkan Kanzia sendiri memang tak terlalu mempedulikan itu semua. "Ya."

"Apa masalahmu pada kaum kami?" Protes Rein pasalnya selama hidupnya baru kali ini bertemu orang seperti Kanzia.

"Aku memang seperti ini." Jawab Kanzia. "Tapi aku mengingat hal itu." Tambahnya.

Rein menahan kata-katanya sendiri yang siap meluncur. Ia menatap Kanzia tak percaya. "Aku tak yakin." Remehnya.

"Kau tak bisa menilai orang dari apa yang kau lihat saja. Dari orang lainpun juga terkadang meragukan. Kau harus mencari tahu langsung tentang orang itu dalam waktu yang lama karena tak semua akan ditunjukkan di depan. Ada jati diri yang sedang bersembunyi di balik ego atau luka."

Rein bungkam. Kanzia memang benar. Dan Kanzia seperti membicarakannya.

"Aku terluka sejak kecil. Orang-orang di sekitarku pergi dan menyisahkan trauma dalam diriku." Dada Kanzia seketika merasa sesak, matanya merasa perih saat sebuah luka kembali terkenang dan berputar dalam pikirannya.

Rein yang melihat gelagat Kanzia yang tak seperti sebelumnya langsung berpindah duduk di samping Kanzia dan merangkul tubuh di sebelahnya sebelum suara tangis pecah. "Tak apa. Menangislah!" Ucapnya sambil memperhatikan pengunjung di cafe yang beruntungnya sedang sepi dan mereka berada di pojok ruangan yang sedikit terhalang dengan dinding kayu minimalis.

***

"Kau benar-benar tak ingin pulang? Aku bisa menyampaikannya pada Eza nantinya."

Kanzia menggeleng pelan. Saat ini dirinya berada di lift Ia sudah terlambat setengah jam dan masih ada waktu setengah jam lagi untuk dirinya bersiap-siap sebelum meeting rutin bulanan.

"Kau serius?"

Kanzia mencoba tersenyum meyakinkan bahwa dirinya baik. "Aku tak enak jika mendadak tak menghadiri rapat. Kepala divisi kami sekarang cukup serius dan tak segan-segan menegur."

"Tapi kondisimu-."

"Aku bisa bertahan hingga selama ini." Potong Kanzia. "Kau tak perlu khawatir."

Selanjutnya pintu lift terbuka dan layar di sebelah pintu telah menunjukkan lantai 9, dimana ruang divisi Kanzia. Ia melangkah keluar dengan ringan lalu berbalik hendak berpamitan dengan Rein yang rupanya tengah menahan tombol lift agar tetap terbuka. "Terima kasih telah menjadi tempat bercerita." Ucap Kanzia lalu kembali tersenyum.

Masih Tersekat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang