BAB 34 - Keputusan

3 2 0
                                    

Kehidupan adalah perjuangan. Dan perjuangan butuh pengorbanan. Tapi apakah kebahagiannya selalu menjadi korban? Sejak kematian tragis kedua orang tuanya, kebahagiaan Kanzia terenggut sejak dini. Masa yang seharusnya bahagia dan mengajarkan kasih sayang orang tua justru menjadi sebaliknya.

Kanzia tak membenci ibunya yang pergi meninggalkannya dalam ketakutan. Kanzia tak membenci ayahnya yang pergi dalam perlakukan kasarnya. Kanzia tak membenci nenek dan kakek yang pergi meninggalkannya sendirian di dunia ini. Kanzia tak membenci Izyan yang pergi untuk mengejar mimpinya. Kanzia tak membenci Raphael yang mulai mengabaikannya. Dan Kanzia tak membenci Eza yang kembali pada mantan kekasihnya.

Semua sudah ditakdirkan. Itu adalah kebenarannya. Lalu kesedihan dan penderitaan kesendirian yang ia rasakan juga sudah ditakdirkan untuknya.

Kanzia ingin sesekali menjadi egois. Menahan seseorang untuk tetap bersamanya. Menerima luka dalam dirinya yang begitu mengerikan. Tapi Kanzia sadar jika mereka begitu indah dan terang berwarna untuk Kanzia yang terkadang merasa kehampaan.

Menghabiskan akhir pekan bersama anak-anak panti menjadi pelariannya. Ia terkadang merasa begitu iri melihat mereka tertawa bahagia mesti telah tak memiliki orang tua lagi seolah kepergian adalah hal kecil dalam hidupnya. Kanzia ingin bertanya bagaimana mereka bisa bahagia tapi hal itu selalu ia urungkan takut mereka mengenang kembali kesepian mereka. Cukup Kanzia yang selalu mengenang hal itu hingga sekarang ini.

Lampu tamaran menemaninya mengenang semua itu di kamarnya. Tangannya meraih ponsel dan membuka pesan yang beberapa hari lalu Eza kirim namun tak ingin dia baca.

Elfahreza

Zia! Maafkan aku tak bisa menemanimu. Aku harus ke Swiss malam ini juga. Jaga dirimu baik-baik, oke?

Hai! Aku sangat merindukanmu. Bagaimana harimu?

Kanzia tak bisa berekspresi apapun. Jam di ponselnya hampir menunjukkan jam sembilan. Perbedaan waktu kurang lebih lima jam lebih cepat dari waktu Swiss bisa membuat Kanzia menghubungi Eza.

Panggilan telepon terjawab. Kanzia belum berkata, ia menunggu suara pria di seberang sana namun tetap sunyi.

"Eza." Jantung Kanzia berdecak begitu cepat kala tak ada balasan langsung. Hening melingkupi keduanya.

"Oh, Kanzia, ya?"

Kanzia berusaha tenang. Jantungnya memompa lebih cepat lagi. "Iya."

Sekelebat pikiran yang begitu banyak melintas di kepalanya. Seharusnya ia sudah siap akan hal ini.

"Ada perlu apa?" Suara Cherly terdengar begitu tenang di sana.

Cherly memang tenang karena tak mengetahui apapun tentangnya dan Eza yang memang tak seharusnya ada. Benang yang terjalin diantara mereka adalah halusinasi Eza yang diragukan Kanzia.

"Kanzia?"

Kanzia tersentak pelan. "Maaf."

"Tak apa. Ada perlu apa?"

"Oh itu. Saya ingin berbicara dengan pak Eza. Beliau ada?" Kanzia mencari pelarian untuk segera mengakhiri percakapan dengan Cherly lewat ponsel Eza. Sekertaris terkadang memiliki akses khusus dan boleh melakukan hal itu.

"Eza sedang mandi. Apa ada hal urgen hingga menghubunginya langsung? Nanti saya sampaikan."

Kanzia menggelengkan kepala. Ia sadar jika hal itu percuma karena Cherly tak akan melihatnya. "Tidak ada."

"Kanzia?"

Kanzia terdiam sejenak sebelum menjawab.

"Aku ingin memperjuangkan Eza."

Kanzia tampak tak terkejut. Ia hanya tersenyum tipis mendengar hal itu.

"Aku mengetahui hubungan kalian. Tapi tak banyak orang yang tau hal itu terlebih karyawan di kantor. Aku tak akan bersaing dengan cara yang jahat denganmu. Tapi aku harap kau mundur karena Eza lebih membutuhkanku. Selain itu aku lebih unggul darimu dalam banyak hal seperti keluarga dan lamanya kami saling mengenal. Dan soal berita di kantor, kurasa kau sudah pasti mendengarnya, bukan?"

"Aku tau ini sulit bagimu. Terlebih kau sudah begitu dekat dengan keluarga Eza. Tapi kurasa banyak pihak yang lebih mendukung padaku."

"Relasi bisnis, bukan?" Sela Kanzia dengan tenang. Ia sendiri tak tau bagaimana reaksi Cherly sekarang. Tapi setidaknya ia bisa menghentikan celotehan perempuan di seberang sana. "Anda tak perlu memaparkan kelebihan itu. Aku mengenal batasan diriku."

"Baiklah. Kurasa cukup sampai di sini. Sampai jumpa."

Kanzia diam dengan ponsel masih menempel di telinganya. Walau tak begitu keras, tapi Kanzia bisa mendengar hal itu dengan jelas.

"Oh, handuk. Tunggu sebentar!"

Kanzia menunduk sambil tersenyum setelah meletakkan kembali ponselnya dan panggilan telepon telah tertutup. Cukup lama ia melakukan itu hingga kepalanya kembali tegak dan menatap laptopnya yang menyala dan menampilkan layar surel.

***

Keputusan Kanzia untuk tidak memperpanjang masa kontrak kerjanya sebulan yang lalu sudah benar. Sejak Eza menyatakan perasaannya waktu itu ia terus tak tenang dan memilik tidak melanjutkan kontraknya tanpa mengabari siapapun. Kanzia sendiri menyayangkan hal itu karena ia baru mulai berdekatan dengan Lala dan Aulia akhir-akhir ini. Kepala divisi yang mengetahui keputusan Kanzia menyayangkan keputusan itu karena kinerja Kanzia yang bagus.

Sebenarnya Kanzia bisa meminta Lala atau Aulia untuk mengemasi barang-barangnya di meja lalu mengantarkannya melalui layanan online. Tapi harus berpamitan secara langsung kepada teman-teman dan kepala divisinya. Dan hal itu bersamaan dengan hari Eza kembali bekerja setelah perjalanan bisnis ke Swiss.

Kanzia bersyukur dan bisa menghela nafas lega saat dirinya keluar dari lift menuju lobi tak berpapasan dengan Eza. Dia tak tau bagaimana reaksi pria itu nantinya dan Kanzia tak siap untuk bertemu hanya untuk perpisahan.

"Kau tau Raphael pasti akan menghajarku jika mengetahui bahwa aku menyembunyikanmu."

"Jangan khawatir. Dia selalu menghargai keputusanku." Kanzia butuh seseorang yang berpihak netral untuk membantunya pergi dan bersembunyi. Namun, ia ragu jika Eza akan mencarinya karena telah menemukan sosok baru yang lebih sempurna darinya.

"Kalau begitu Masuklah! Perjalanan yang ditempuh sangatlah panjang."

Kanzia tersenyum sambil meyakinkan diri lagi bahwa keputusannya sudah tepat. Selain itu, tak ada jalan kembali lagi untuknya setelah ini. Karena dirinya memang ditakdirkan seperti ini.

___

Egois memang menyakitkan dan semua terluka karenanya

Kebahagiaanmu bukan karena olehku saja

Dan kau bisa hidup tanpaku di sisimu

Masih Tersekat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang