Dua Puluh Sembilan

146 23 0
                                    

Aby menghitung ulang catatan keuangannya. "masih kurang lima belas juta." Batinnya. Lima puluh persen penghasilannya selama lima bulan, tambahan dari mama dan gajinya sebagai model dadakan sudah dia berikan semua. Harus berapa lama lagi dia bekerja di rumah Darrend? semakin lama dia bekerja disana semakin sulit rasanya menghindari laki-laki itu. Perasaannya semakin hari semakin tidak bisa dihilangkan.

Dihempaskannya badan di atas ranjang sambil menelentangkan tangan, seolah butuh lebih banyak oksigen untuk dihirup. Sedang apa Darrend saat ini? apa benar yang dia katakan saat itu? kenapa laki-laki itu bisa berubah dengan sangat cepat? Darrend bahkan tak sedikitpun memperhatikannya, seolah tak pernah sekalipun melontarkan kata-kata cinta padanya.

Aby meraih guling, kemudian memeluknya dengan sangat erat, mencari posisi tidur paling nyaman ketika sayup-sayup terdengar suara mama dari ruang tamu. Entah sedang berbicara dengan siapa? sepertinya laki-laki yang dia kenal.

"Berani-beraninya kamu kesini lagi? belum puas sudah nyuri surat-surat rumah? hah!!"

Mama tidak berteriak, tapi terdengar menekan kata-katanya. Aby tahu benar beliau sangat emosi saat ini. 

"Maaf, Mbak. Waktu itu aku sedang kepepet." Jawab laki-laki itu sedikit takut.Aby mengintip dari pintu ruang tengah, ada Ruby disana, juga sedang melakukan hal yang sama.

"Kepepet? enak aja kamu ngomong! kamu tahu, nggak? Aby kerja mati-matian buat bayar hutang kamu? om macam apa kamu ini?!" Kali ini wanita setengah baya itu sudah tidak bisa mengontrol suaranya lagi. 

"Eh, anu, mbak... anu.." laki-laki itu gagu seketika, tidak tahu harus menjawab apa. 

"Apa? mau  numpang disini lagi? jangan harap!" Mama menyela, matanya membulat penuh emosi. "Arep turu, turuo ndek omahmu dewe! (kalau mau tidur, tidur aja di rumahmu sendiri!)." Tambahnya lagi, tidak memberi om Narko kesempatan berbicara sedikitpun.

"Ayo, pergi. Nunggu apa lagi?" Kali ini mama mengangkat sebuah kursi plastik, membuat adik laki-lakinya itu terlihat ketakutan.

"iyo, iyo, Mbak. Aku metu." Katanya sambil berlari kecil keluar. 

Mama menghela napas lega. Aby yang sedari tadi bersembunyi dibalik pintu segera keluar, menuntun mama duduk. Wajar saja mama semarah itu, pasalnya, beberapa kali om Narko datang dan pergi dengan meninggalkan setumpuk masalah.

"Minum dulu, Ma" Kata Ruby sambil menyodorkan segelas air. Mama meneguknya perlahan.

"Om kamu nitu... enak aja datang-datang mau numpang di sini lagi," Mama masih terlihat kesal. Aby tersenyum sambil memijat pundak mamanya. Ia tahu betapa marahnya mama kepada adiknya itu. Bagi mereka uang tiga puluh juta itu sangat banyak sekali, bahkan gaji Aby dan penghasilan mama selama setengah tahun jika digabungkan saja belum cukup.

*******

Aby menyeka keringat di pelipisnya. Siang ini begitu panas, tapi langit terlihat sedikit mendung. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Mbak Saro sudah heboh dari pagi, minta tolong Aby membersihkan kamar Darrend karena pemilik kamar tersebut kabarnya datang hari ini. Aby sedikit malas, hanya saja dia tidak mau dibilang tidak profesional lagi. Yang penting tidak bertemu langsung, di pikir akan baik-baik saja.

"By, ada yang nyari."

"Mas Gun, Pak?" tanya Aby penasaran.

"Bukan." Pak Agus terlihat bingung.

"Juno?"

"Bukan.." jawab pak Agus lagi, wajahnya tampak ingin menggambarkan sosok yang baru saja datang mencari Aby. Aby mencoba menebak-nebak, siapa lagi yang akan datang mencarinya selain mereka berdua?

✔️I got UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang