Tujuh belas

295 68 17
                                    


Aby

Ketika aku memutuskan untuk diam dan mengikuti permainan den Darrend, harusnya aku juga sudah memperkirakan Sesakit apa hatiku nanti. Pun ketika akhirnya mbak Sri mengatakan bahwa Flo adalah salah satu future wife yang perfect, seharusnya hati ini biasa saja, atau mungkin aku harus ikut bahagia karena mereka berdua memang pasangan yang serasi.

Meskipun kenyataannya, tanpa sadar aku malah hanyut pada pesona laki-laki bermata elang itu. Laki-laki yang seharusnya tidak boleh ada dalam kepalaku, entah sekedar mampir, lebih-lebih menjadi penghuninya. Lagipula, sejak kapan aku mulai merasa terganggu dengan kedekatan den Darrend dan mbak Flow? Bukannya beberapa minggu yang lalu aku masih mengidolakan Juno, yah? Kenapa hati terbolak balik begitu cepat.

Kukenakan seragam kerja navyku, seragam yang seharusnya bisa menjadi pengingat bahwa aku hanyalah pembantu. Yah, pembantu. Dan aku buru-buru keluar dari kamar, memegang sapuku bersiap-siap melakukan pekerjaan harianku.

Kalian pasti bertanya juga kan, sebenarnya hatiku untuk siapa? Dan jawabannya adalah, entah.. Aku sendiri tidak terlalu yakin. Yang pasti semakin hari semakin jelas, ada diposisi mana Juno dalam hatiku saat ini. He's a good friend, my Hero. Laki-laki yang selalu ada dan berdiri paling depan saat aku sedih. Dia cinta keduaku setelah ayah.

Namun, bukan cinta seperti itu yang aku maksud. Cinta yang kumaksud adalah benar-benar seperti cintaku pada ayah, tidak, mungkin seperti pada kakak?

Butuh waktu cukup lama untuk merubah haluan. Dari drama jatuh cintaku padanya, kemudian patah hati karena Juno ternyata malah jatuh cinta pada adikku. Hingga proses mengikhlaskan yang tentu saja tidak nyaman bahkan sedikit menyiksa. Dan akhirnya... Aku melihat laki-laki itu, laki-laki yang dengan seenak udelnya menyebutku gadis gila, meskipun aku tak menampik karena pertemuan kami yang memang aneh.

"Cewek gila."

Panggilan itu kembali terdengar di telingaku. Seolah itu adalah mantra, mantra yang membuatku semakin hari semakin tidak bisa melepaskan diri darinya. Semakin terkungkung dalam perasaan yang seharusnya sudah kubuang jauh-jauh ini.

"Cewek gila."

Aku tidak mengerti, apalagi yang harus kulakukan? Kukira aku akan baik-baik saja seperti saat aku menekan dalam-dalam perasaanku pada Juno, tapi tidak. Mantra itu sepertinya lebih kuat. Bahkan hampir saja membuatku lupa jika tak seharusnya aku berharap.

"Aby?"

Aku tersentak dari lamunanku. Segera kuedarkan pandangan kearah suara. Laki-laki yang baru saja ada dalam pikiranku berdiri disana. Bukankah dia sudah pergi?

"Ya, Den?"  Aku berusaha mengendalikan debar dalam dadaku, ini lebih parah dari debar jantungku saat menghadapi soal UAN.

"Lo ngelamun?" Katanya dengan tatapan tajam. Aku segera menggeleng.

"Bukannya den Darrend tadi sudah berangkat kerja?"

"Ya, ada yang lupa."

"Apa?" Aku merutuki kekepoanku.

"Besok lo ikut gue." Katanya. Seperti biasa, ini perintah.

Aku tidak bisa melawan, aku tidak bisa menolak, aku... Yah, inilah aku. Akhirnya dengan penuh keterpaksaan mengangguk juga.

"Oke, besok Lo bawa baju ganti. Kerjaan delivery girl lo off, kan?"

"Ya, Den."

"Gue berangkat, nanti gue hubungin."

Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Ada perasaan tidak nyaman yang selalu aku rasakan, tapi seperti biasa, aku berusaha mengabaikannya.

****

✔️I got UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang