Enam

345 63 6
                                    

Pagi-pagi sekali Aby sudah heboh di dapur. Memotong sosis, memotong timun, ayam, mengocok telur dan bumbu-bumbu lainnya. Ruby bertanya dengan isyarat, membentuk tanda tanya besar dengan telunjuknya sebelum keluar dari rumah. Ia harus berangkat setengah jam lebih pagi karena ada tri out. Gadis itu tersenyum, enggan menjawab, kemudian kembali heboh dengan masakannya.

Dan disinilah dia sekarang. Dibalik tiang yang berdiri kokoh diantara tangga dan kamar Darrend, sambil memperhatikan piring berisi nasi goreng dan kartu ucapan terima kasih yang norak tergeletak di depan pintu cucu majikannya.

"Terimakasih, Den, udah repot-repot nuntun sepeda saya ketukang bengkel"

Sepuluh menit berlalu, tapi orang yang dia tunggu belum juga keluar dari kamarnya. Digaruknya kepala, kemudian membungkuk bosan, berdiri lagi, jongkok, mijat kaki karena terlalu capek. Dan dia menyerah...

"Den Dareeeennndd, kemana sih ini orang? Jangan-jangan mati dia didalem," dia bergegas melangkah hendak mengambil piring tersebut, membungkuk masih sambil ngoceh nggak jelas. "Oke, seharusnya gue nggak usah ngasih nasgor. Cukup bilang makasih.. Ga usah ngasih note nggak jelas kayak gini, kayaknya nor ... "

"Kletak"

Bunyi kunci pintu dibuka. Belum sempat Aby mengambil piring, sepasang kaki dengan Barker black mengkilatnya sudah berdiri disana, memandangnya dengan tatapan aneh.

"Ngapain lo disini?"

"Mm, mau nganter nasgor, Den." wajah Aby seketika berubah. Diserahkannya piring berisi nasgor itu deg-degan.

"Dari mbak Siti ." mulai mengarang indah.

"Mbak Siti nggak pernah nganter makanan kesini, gue akan turun kalo gue mau sarapan." mata elang itu terlihat menyelidik. Kemudian mengalihkan pandangan ke arah note yang ditempel dibibir piring. Mengambilnya dan membacanya.

Demi rambut keriting mbak Saroh, please jangan di baca, Den, buang aja! Hus..hus.. Gadis itu memejamkan matanya. Pipinya merah menahan malu membayangkan pria didepannya tahu apa yang dia tulis. Diam-diam ia merutuki kecerobohannya. Harusnya ia tidak lupa mencabut note itu cepat-cepat tadi.

Pria itu tersenyum. Bahkan tertawa kecil sambil menggelengkan kepala.
"Jadi lo bener-bener gila, yah? Mana mungkin gue nuntun sepedanya sampe kedepan gang sana?" katanya disela tawa. Masih ada ternyata jaman sekarang orang minta maaf pake makanan, dikasih note, naruhnya depan pintu kamar pula.

"Gue punya bang Hasan, pak Leman, pak Daus dan pak Pardi yang bisa dimintai tolong dorong sepeda lo." kata-kata yang cukup menjawab semua pertanyaan Aby. Gadis itu menelan ludahnya gugup.

Habis sudah kepercayaan dirinya tadi pagi. Benar juga, mana mungkin Darren Hanggoro mau susah-susah menuntun sepedanya kedepan gang sana, itu cukup jauh mengingat rumahnya berada di kompleks perumahan mewah. Dan begitu naifnya dia mengartikan kata-kata pak Leman kemarin sore? Bisa saja Darrend hanya MEMERINTAH dan membayar, bukan MENUNTUN atau MEMBAWA sepedanya ke bengkel.

"Oiya, karena lo sudah bawa nasgornya jauh-jauh dari bawah, sini biar gue makan." pria itu mengambil piring dari tangan Aby. Aby hanya diam, antara malu dan menyesal dengan gede rasanya yang over dosis.

"Saya permisi, Den." ujarnya dengan suara yang hampir tak terdengar, kemudian berbalik pergi.

*****

"Hai beib, have eaten?" suara di seberang terdengar renyah. Aby menghela napas.

"Ya..."

"Ada yang nggak beres?"

"No, cuma lagi capek." kilahnya. Ia bersandar di dinding dekat kolam renang. Setelah kejadian tadi pagi moodnya tiba-tiba hilang.

"Coba beli hp baru, biar gue bisa liat muka lo, lagi bohong ato nggak."  Aby tergelak. Boro-boro hp baru, hutangnya masih banyak.

✔️I got UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang