Tiga Puluh

157 23 5
                                    

"Apa-apaan ini? jangan-jangan gue udah bener-bener jadi penguntit?" 

Darrend menutup wajahnya yang memerah karena malu. Tanpa sadar, hampir dua jam laki-laki itu mengikuti mobil Guntoro dari belakang, mengamati kegiatan Gun dan Aby sambil sesekali mengepalkan tangan kesal. Berpura-pura membeli kacang tanah, berbicara dengan orang yang tidak dikenal, seumur hidup baru kali ini Ia melakukan hal-hal memalukan seperti itu. Ya Tuhan... ia mondar mandir di depan tangga, perasaannya begitu resah.

Gadis itu sepertinya sudah mencemari otak dan pikirannya secara perlahan. Darrend tidak bisa fokus pada pekerjaannya sekalipun sudah berusaha, tidak bisa tidur, Perasaannya benar-benar tidak tenang. Apalagi setelah Oma mengatakan mereka berdua sepertinya sudah pacaran. Lagi-lagi Darrend menghela napas dalam. Setelah Juno, Guntoro, lalu siapa lagi? kenapa banyak sekali laki-laki disekitar Aby?

"Kenapa, Mas?" tanya pak Agus yang kebetulan lewat. Darrend terkejut, ia cepat-cepat bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.

"Nggak apa-apa, Pak. Kenapa emangnya?"

"Oooh...," Pak Agus ber oh-oh ria, tapi pandangan matanya masih tetap terlihat penasaran.

"Ada apa lagi, Pak?" Kali ini Darrend yang gantian bertanya. Ia heran melihat pak Agus masih berdiri di depannya.

"Nggak apa-apa mas, emang ada apa?" Laki-laki itu memasang wajah inocent.

Ada apa? itu kan kata-kata gue tadi?

Darrend semakin pusing, orang-orang di rumah ini sudah mulai aneh, atau... sebenarnya dia lah yang mulai aneh? Darrend mendengus, kemudian buru-buru naik ke atas.

"Ehm, Mas.. bisa bapak ngomong sebentar?" Panggil pak Agus sebelum Darrend benar-benar menghilang. Darrend berhenti sebentar, kemudian menoleh. Dari ekspresinya, sepertinya ada hal penting yang akan ia bicarakan.

*******

Guntoro memarkir mobilnya tepat di depan gerbang rumah Darrend. Diliriknya jam tangan bersemangat. Ia tahu Aby sudah menolaknya, tapi bukan berarti tidak ada kesempatan lagi, kan? Ia masih bisa mendekati Aby sebelum janur kuning melengkung.

"Jemput Aby, Mas?" Tanya kang Hasan padanya, Ia mengangguk.

"Iya, Kang"

"Enak, yah, sekarang Aby pulang pergi dijemput," celetuk laki-laki tiga puluh tahunan itu menggoda. Guntoro tergelak.

"Namanya juga usaha, Kang.." Laki-laki itu berjalan ke arah pos, kemudian duduk di bangku panjang.

Beberapa menit kemudian Aby keluar dengan senyum anehnya. Ia tak habis pikir, bagaimana lagi cara menyampaikan pada Guntoro bahwa ia tak ingin diantar jemput seperti ini?banyak orang yang akan salah sangka jika mereka sertiap hari pulang pergi bersama.

"Kan aku udah bilang mau pulang sendiri, mas?" Ia sedikit tidak enak hati. Guntoro tersenyum melihat ekspresi gadis di depannya.

"Gue ada sesuatu buat lo" katanya singkat sambil terus memandangi gadis itu.

" Ayo ikut."

"Ini terakhir, yah.."

"oke"

Guntoro mengarahkan mobilnya menuju sebuah studio foto. Tanpa menunggu Aby, Ia keluar dari mobil dan berlari kecil memasuki bangunan itu, kemudian kembali keluar sambil membawa sebuah pigura dengan buntalan rapi.

"Ini buat kamu." Ia menyerahkan pigura itu pada Aby dengan senyum yang masih mengembang.

"Buka aja, pasti kamu suka." Guntoro tersenyum yakin.

Perlahan Aby membukanya. Ada gadis dengan rambut tergerai sedang melompat ceria, sebuah bandana merah marun berhias brukat dan mutiara bertengger dikepalanya. Gaunnya terbuat dari satin berwarna senada, menampilkan kulit putihnya yang bersinar.

✔️I got UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang