Tiga Puluh Satu

435 32 6
                                    

Pagi-pagi sekali Aby sudah sampai di rumah bu Mia, pasalnya  mbak Ami tengah malam mengirim pesan singkat padanya, hari ini Darrend akan melamar seorang gadis dan semua orang kelabakan. Aby menelan ludah, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Sudah dicobanya menenangkan diri, tapi tetap saja tidak bisa.

Sebenarnya apa yang Darrend katakan semalam? Bising kendaraan membuat telinganya tidak bisa menangkap suara laki-laki itu. Aby sempat berdebar, seolah Darrend mengatakan seluruh isi hatinya, seperti sedang ingin memperjuangkan hubungan mereka yang entah akan berakhir dimana. Namun kenyataan yang Aby dapatkan pagi ini justru berbalik seratus delapan puluh derajat dari yang ia kira. 

Gadis itu mengatur napasnya yang menderu setelah berlari secepat mungkin ke dapur demi memastikan apa yang sudah mbak Ami katakan. Didapatinya mbak Saro memasang wajah sumringahnya, dengan balutan kebaya putih yang jelas lebih normal dibanding gaun-gaun lain yang pernah ia pakai. Mata Aby spontan berkaca-kaca. Entah kenapa dia tidak bisa menahan perasaan sakitnya.

"Kamu baru datang?" mbak Saro membulatkan mata. Aby yang baru saja menyadari pertanyaan itu buru-buru mengangguk. 

"Iya, maaf..." Perlahan ia berjalan menuju kamar mandi, kemudian terdiam di sana untuk beberapa saat. 

Tenang, By... tenang... Bukannya lo udah biasa dapat kejutan seperti ini?  Batinnya, kemudian menyeka butiran air mata yang terlanjur jatuh meski sudah ditahannya. 

"Abyyy..!" Kali ini mbak Ami yang terdengar. 

"Ya, Mbak?"

"Udah belum? lama banget... disuruh make up, tuh"

Hah, make up? buat apaan? Aby keheranan. Cepat-cepat dibukanya pintu kamar mandi dan mendapati mbak Ami yang sudah ber make up cantik tapi masih mengenakan daster bututnya.

"Kenapa pake make up segala, mbak? emangnya aku ikut juga?" Aby semakin heran.

"Loh, kamu belum tahu? mas Darrend ini nanti lamaran sekalian akad, loh.."

Akad? apa maksudnya? Darrend mau nikah?  Seketika Aby terdiam di depan mbak Ami, lututnya lemas.

"Aku boleh disini aja, Mbak?" Ia sungguh tidak ingin pergi kali ini. Apapun yang akan bu Mia katakan nanti, atau Darrend lakukan padanya, Aby rasa diam di rumah adalah pilihan terbaik. Dia tidak yakin bisa melihat laki-laki itu menikah dengan gadis lain di depan mata kepalanya sendiri. 

"Loh.. nggak bisa, dong..."

"Please, mbak... "

"Kenapa, By?" Raut wajah mbak Ami seketika berubah. Hanya dengan sekali lihat, Ia tahu sekali apa yang sedang terjadi juga apa yang sedang Aby rasakan saat ini. Bukannya dia tidak perduli pada perasaan Aby, tapi apa yang bisa dia lakukan? mereka adalah pekerja yang dibayar di rumah ini, dan dia rasa menjadi bagian di hari bahagia majikannya itu termasuk dalam kontrak kerjanya, kan?

"Semalem mas Darrend ngomong, tapi Aby nggak denger, terus mas Darrend meluk Aby kenceeeng banget, mungkin mas Darrend lagi minta maaf, yah?" ucap gadis itu, seolah berbicara pada dirinya sendiri, air matanya mulai menetes lagi. 

"Aby udah bilang nggak akan berharap lagi, ternyata susah..." Kali ini ia memeluk mbak Ami, tubuhnya berguncang, tangisnya pecah. Mbak Ami yang merasa iba segera mengelus pundaknya menenangkan. Dalam hati dia mati-matian mengutuk Darrend yang sedang bahagia karena sudah membuatnya berada di posisi ini. 

"Jodoh itu Allah yang ngatur, percaya sama Allah, By... " Ucap mba Ami lembut sambil mengusap-usap punggung Aby lembut.

"Ayo sekarang ke kamarku, kamu harus kuat. Udah ditunggu periasnya, tuh.. " Diamitnya lengan gadis itu sedikit memaksa. Mau tidak mau Aby mengikutinya. Mungkin ini saat yang tepat untuk mundur, saat perasaan Darrend sudah tidak bisa lagi dia harapkan. Laki-laki itu akan menjadi milik orang lain.

✔️I got UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang