Dua belas

279 62 6
                                    


Pukul 22.30, dan Aby baru saja keluar dari tempat kerjanya. Ia meregangkan badan berharap lelahnya berkurang, kemudian berjalan kearah jalan raya, menoleh kanan kiri siapa tahu ada angkot yang lewat.

Harusnya dia minta Darrend mengembalikannya kerumah saja tadi, ia lupa kalau didaerah sini jarang sekali ada angkot dijam-jam begini. Mau naik taksi sayang, jalan? bisa gempor kakinya. Lima belas kilo brooo..

Ia duduk dibadukan. Telepon Juno??? Ahh nggak-nggak, Aby menggeleng-gelengkan kepala, itu ide yang buruk. Ia sudah berjanji akan lebih keras lagi berjuang menghindari sahabat tapi ngangeninnya itu. Hhh... Hari yang benar-benar melelahkan. Diselonjorkannya kaki, kemudian tangannya mulai memukul-mukul paha dan betisnya. Ugh.. Enaknya...

"Lo bodoh By, harusnya lo pulang dulu, sepeda lo bawa.. Hemat duit, nggak usah nunggu-nunggu angkot.. Nggak kemaleman, dan nggak cengok disini sendirian." Cerocosnya dengan ekspresi dan gerakan tangan lucu seolah sedang bicara dengan seseorang. Ia menghela napasnya panjang.

"Hhh... Gue capeeekk." Ia merengek sendiri. Jalanan makin sepi.

"Lo pengen pulang ato niat nongkrong disini, sih?." tiba-tiba suara bas terdengar disampingnya. Aby mendongak, laki-laki bermata elang itu sedang berdiri disana sambil menatapnya kesal.

"Den Darrend nyasar?" tanyanya konyol. Laki-laki itu hanya membuang pandangan ke arah jalanan enggan menjawab. "Atau memang belum pulang?."

"Gila apa gue nggak pulang, ngapain? nungguin lo kerja? Kurang kerjaan banget" katanya sinis. "Cepetan masuk, gue anter lo pulang." Perintahnya.

"Saya pulang sendiri aja Den." Aby benar-benar tidak enak hati pada laki-laki itu.

"Yakin?."

"Iya."

"Kenapa nggak sama gue aja?" Darrend masih mengejar.

"Nggak usah Den, nanti ngerepotin."

"Oke." laki-laki itu akhirnya berjalan menjauh menghampiri mobilnya.

Udah? Gitu aja? nggak ditawarin lagi gitu? Aby manyun. Mana nggak ada angkot lagi dari tadi, tapi dia gengsi mau narik kata-katanya.

"Oh iya, gue lupa bilang... Daerah sini jam sebelas ke atas sedikit rawan, Lo ati-ati yah.." teriak Darrend dari jauh. Aby yang jelas-jelas mendengar langsung berdiri.

"Den, tungguin!!,"

******

Dan akhirnya mereka saling diam lagi didalam mobil, tak tahu apa yang harus dibahas. Darrend menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal, lalu mencuri pandang pada gadis disebelahnya. Dan lagi-lagi dia tertidur.

***

Setelah mengantar Aby ke restauran milik tantenya, Darrend memutuskan untuk tidak pulang. Ia tahu sepeda Aby masih dirumahnya, bagaimana jika gadis itu kemalaman? sulit mencari angkot dijam-jam itu, jikapun ada Darrend tidak bisa membayangkan kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Ia masuk keruangan tantenya, mengobrol sebentar dengan Wina sebelum wanita 50 tahun itu pamit pulang duluan. Direbahkannya badan disofa panjang dalam ruangan tersebut hingga ia tertidur, dan bangun saat semua karyawan sudah bersiap pulang.

Ia berlari keluar menuju parkiran, mencari sosok Aby diantara para karyawan tapi nihil, gadis itu tidak ada. Ia masuk ke dapur, gadis itu juga tidak ada. Atau dia sudah naik angkot mungkin? Akhirnya sedikit kecewa dia bertanya pada salah satu karyawan laki-laki.

"Tuh mas, ada dihalte." katanya sambil menunjuk gadis lesu disana.

Gadis cantik dengan setelan kaos dan celana jeans, rambutnya dikuncir kuda, sedang menyelonjorkan kaki sambil sesekali menepuk-nepuk paha dan betisnya. Pasti dia sangat lelah.

Darrend tersenyum, entah apa yang membuatnya bahagia. Rasanya lega saja melihat gadis itu masih disana. Lega melihat dia lebih lama hari ini, lega punya kesempatan nawarin dia pulang bareng...

... Apa???

Darrend mengetuk-ngetuk kepalanya sambil bersungut. Gue nggak gila, kan?? Please... Mata gue belum rabun, kan? Berkali-kali ia merutuki perasaannya yang tiba-tiba aneh, perutnya yang tiba-tiba tidak nyaman, dan bibirnya yang berhianat, enyum-senyum tanpa bisa ditahan.

Dan gadis itu masih disana. Seperti sedang frustasi, kemudian berbicara sendiri seperti biasanya. dia memang gadis gila, dan punya efek buruk yang mudah ditularkan. Gila.

Dengan semangat Darrend melangkah mendekati gadis itu, menata kembali ekspresi wajahnya, memastikan gadis itu tidak menyadarinya. Bisa jatuh harga dirinya kalau Aby tahu diam-diam dia memperhatikannya.

***

"By.." suara Darrend pelan. Ragu-ragu ia membangunkan gadis itu. Tapi yang dipanggil tetap tak bergerak. Posisinya terlihat sangat tidak nyaman, kepalanya terlalu menunduk dan miring.

Sudah setengah jam dia disini, didepan gang rumah Aby. Ia hanya takut gadis ini pulang terlalu malam. Dan jelas tidak mungkin juga dia menggendongnya, kan? mereka bukan pasangan bintang film korea, atau pengantin baru yang masih romantis-romantisan. Mereka hanya majikan dan asisten rumahtangga.

"Aahh, persetan lah, kasian juga anak orang tidurnya kayak gini" Darrend bicara sendiri. Kemudian dengan hati-hati dan perlahan ia mendekat ke arah Aby, menangkup wajahnya, kemudian membenarkan posisi duduk gadis itu, membuat jarak wajah mereka sedikit lebih dekat.

"Ehm..." Aby bergumam, mencari posisi nyaman, kemudian meraih tangan Darrend dan menjadikannya bantalan pipi. Shit!!

Darrend ingin melepaskannya, tapi melihat Aby yang begitu nyenyak ia urungkan. Ia merelakan sebelah tangannya jadi bantal, sementara badannya sedikit condong kearah Aby.

"Oke, cuma untuk hari ini aja, anggap aja ini permintaan maaf gue karena lelakuan Friska dan pegawai oma tadi" gumamnya.

Sampai dua puluh menit kemudian, saat tangan Darrend mulai kesemutan dan matanya sedikit berat akhirnya gadis itu bangun juga. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, kemudian kaget mendapati wajah dan tatapan mata didepannya.

"Den, ma'af... " ucapnya spontan dengan wajah tegang. Apalagi mendapati tangan Darrend dipipinya.

***

Kata apalagi yang harus gue ungkapkan untuk menggambarkan rasa bersalah dan takut gue pada orang ini? Rasanya beberapa kali lebih menakutkan dibanding pengumuman suntik campak saat sekolah dulu.

Bagaimana tidak? Gue bangun dengan keadaan yang diluar nalar. Ngapain juga gue megang tangannya den Darrend? Gue bikin bantal lagi. Coba bayangin, berapa lama gue tidur? Dan berapa lama tangan itu gue tempelin?

Hhhh, memikirkan hal itu saja pipi gue udah panas. Belum lagi saat gue buka mata, hal yang pertama kali gue lihat adalah... Wajahnya.

Ya Tuhan....

Wajah yang meskipun lebih sering datarnya daripada senyumnya itu ada didepan wajah gue!

"Ma'af Den.." gue nggak bisa berkata-kata lagi. Laki-laki itu hanya diam menatap, kemudian menarik tangannya dan membenarkan posisi duduknya.

"Nevermind"

"Bisa lihat tangannya?"

"Buat apa?"

"Saya pijat."

"Nggak usah."

"Nggak apa-apa." Gue ngotot, jelas nggak enak, gara-gara gue tangannya jadi korban. Secepat mungkin gue tarik tangannya agar dia tidak menolak lagi. Tapi..

"Awww.." dia berteriak seperti kesakitan.

"Gue bilang nggak usah! Ngerti nggak sih lo??" bentaknya. Jelas gue kaget, gue berpikir apa yang salah? Tapi sejurus kemudian gue baru nyadar den Darrend hanya diam sambil memegang tangannya sedikit renggang.

"Tangan gue kesemutan."

✔️I got UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang