"Kemarin pulang larut malam?" Tanya Mas Yusuf yang kini tengah mengemas beberapa pakaiannya.
Aku mengangguk.
"Maaf, aku terlarut bercerita dengan pemilik restoran. Beliau baik banget, bahkan ada beberapa makanan yang ia bungkus untuk kita. Sepertinya kita bisa sarapan dengan itu," jawabku jujur.
"Semoga saja beliau mau bekerja sama dengan perusahaanku," ucap Mas Yusuf lagi.
"Tapi bagaimana bisa beliau memberikanmu makanan?" Tanyanya penasaran.
Aku sedikit berpikir "Beliau kira aku belum makan sama sekali jadi Ibunya memasakkannya untukku. Ibunya masih kuat banget loh Mas," jawabku penuh antusias.
"Wah kau sudah sangat akrab dengan Tuan Bariq yah Nazwa? Mungkin kapan-kapan kita ke sana lagi untuk bertemu ia dan juga Ibunya," ucap Mas Yusuf sembari membelai lembut kepalaku.
Aku menatapnya dengan begitu dalam, aku ingin Mas Yusuf bertemu dengan Ayah dan juga Nenek. Rasanya akan berbeda jika melihat suamiku dan juga keluargaku yang baru saja ku ketahui berkumpul. Kebahagiaanku pasti akan bertambah.
"Astagfirullah aku lupa. Aku mengundang Tuan Bariq untuk makan bersama di sini sebelum kita pulang dan bisa-bisanya aku lupa, pantas saja koki pagi ini sibuk di dapur. Dia baru saja mengirimkanku pesan singkat dan mengabarkan sudah di depan, tunggu dulu yah Naz, aku keluar dulu."
Tiba-tiba saja hatiku berdegup kencang, harapanku seketika itu di kabulkan. Senyumku tertarik dan menyusul langkah Mas Yusuf, di sana aku melihat Ayah dan juga Nenek yang tengah di sambut oleh Mas Yusuf dan juga keluarga yang lain.
Aku menyambut Ayah dengan senyumanku yang cerah, dan menyalami tangannya dan juga tangan Nenek.
"Nenek ikut juga? Apa nggak capek?" Tanyaku dengan spontan mengambil alih kursi rodanya.
"Nggak kok nak bagaimana kabarmu? Apa tidurmu semalam nyenyak?" tanya Nenek dengan suara yang sangat pelan. Iya, Nenek ternyata tidak lupa mengenai pembicaraan kami semalam.
"Semuanya baik-baik saja, bahkan jauh lebih baik dari hari kemarin," jawabku pula dengan suara pelan.
"Loh Nazwa sudah akrab toh sama Ibunya Tuan Bariq," tegur Abi.
Aku melemparkan senyumku kepada Abi lalu berucap "Iya Abi, aku semalam dari rumah Tuan Bariq dan bertemu Nenek. Kami bercerita lama sekali sampai akhirnya akrab seperti sekarang ini," jawabku dengan hati-hati.
"Oh pantas saja, maaf yah Tuan Bariq Nazwa memang sikapnya seperti ini. Dia dulu lebih nyambung ngomong sama Neneknya di banding sama kita orangtua kandungnya, jadi mohon di maklum," ucap Ummi.
Seketika senyumku pudar, Ummi mengatakan aku anak kandungnya di depan Ayah kandungku? Apakah Ayah akan merasa sakit hati karena itu?
"Tidak mengapa Ibu Jamila, ohiya saya sebaiknya memanggil istri saya dulu yah? Dia semalam sampai hampir subuh di rumah tapi, alhamdulilah pagi ini mau berkunjung kemari."
Apakah dia adalah istri Ayah? Tante Sofia? Yaa Allah, aku sedikit takut dia tidak akan menerimaku.
"Assalamualaikum," ucapnya dengan suara teduh.
Mata kami bertemu dan Tante Sofia melemparkan senyum terbaiknya padaku.
"Silahkan masuk, initoh Nyonya Bariq? Maa syaa Allah sangat cantik," puji Mama mertuaku.
Dia menyapa bahkan menyalami beberapa orang di sana dan sampai kepadaku tiba-tiba saja setelah bersalaman ia menarikku ke dalam pelukannya dan berucap "Aku Ibumu, kau sangat cantik Nazwa. Ayahmu bercerita banyak tentangmu hari ini," bisiknya padaku.
Aku tersenyum penuh haru, oh ayolah aku di kelilingi dengan orang-orang yang mencintaiku. Setelah mengizinkan mereka untuk segera ke ruang makan, aku langsung membantu beberapa koki memasak dan menyiapkan makanan di meja. Ternyata kedatangan Ayah kemari untuk membicarakan tawaran Mas Yusuf, dan dengan senang hati ia menerimanya dan akan segera mencari rumah di kota dan pastinya di keadaan yang sama Mas Yusuf langsung memberikan sebuah rumah untuk Ayah.
"Jangan memikirkan rumah, tempat tinggal dan hal lain. Kita fokus saja membangun bisnis Tuan Bariq, langsung saja pindah ke kota," ucap Mas Yusuf penuh antusias.
Ayah tersenyum simpul "Saya harus menangani rumah makan yang ada di sini terdahulu. Sepertinya juga harus mengadakan beberapa rapat kepada pekerja dan mengenalkan orang kepercayaanku kepada mereka, karena untuk mengurus bisnis di kota saya tidak ingin rumah makan yang penuh makna saya bangun harus terbengkalai di sini," jawab Ayah.
"Tidak mengapa Tuan Bariq, saya menunggu kedatangan anda di kota. Saya juga sudah mengurus tempat dan bangunan restoran baru di kota. Sepertinya, kerja sama kita akan berjalan lancar," jawab Mas Yusuf lagi.
Perbincangan ringan terjadi di meja makan ini, bahkan sarapan di lakukan dengan penuh kehangatan. Aku bercerita banyak dengan Ibu Sofia, iya aku seharusnya memanggilnya Ibu karena menghargai penerimaannya padaku. Ternyata di luar dugaanku, beliau jauh lebih baik dari yang kubayangkan.
"Nazwa dan Yusuf sudah menikah berapa lama?" Tanya Ibu Sofia.
"Enam bulan, waktu memang sungguh tak terasa," jawab Mas Yusuf dengan senyuman manisnya.
"Tapi belum hamil juga," timpal Ibu mertuaku tertawa garing.
Aku tersenyum masam, mengetahui pertanyaannya salah Ibu Sofia menggenggam tanganku seakan menguatkanku.
"Saya juga sudah delapan belas tahun menikah dengan suami belum di karuniai anak. Bahkan, sudah sampai di titik ini kami sepakat untuk tidak terlalu fokus ke anak, karena sibuk membangun kebahagiaan kami. Alhamdulilah sekarang hadir lebih banyak kebahagiaan," bela Ibu Sofia.
"Lelaki punya masing-masing pemikiran yah Bu Sofia, tapi faktanya memang anak adalah sesuatu yang paling membahagiakan di banding kebahagiaan yang lain," jawab Ibu mertuaku yang terang-terangan menolak pemikiran Ibu Sofia.
Sepertinya ini akan menjadi perdebatan yang cukup panas "Doain yah, in syaa Allah cepat atau lambat aku akan hamil kok. Cari moment yang tepat saja dan utamanya menanti kapan Allah beri kepercayaan sama aku," ucapku memotong topik tentang hamil ini.
Ummi segera mengambil alih pembicaraan dan menawarkan makanan kepada beberapa anggota keluarga yang lain. Aku terdiam dan terus memikirkan kalimat sarkas Ibu mertuaku.
Ayah menolah padaku dan tersenyum, seolah senyuman itu adalah senyuman yang memberi semangat terhadapku. Aku tahu alasan di balik alasan Ayah menerima tawaran kerja sama Mas Yusuf, dia ingin berdekatan denganku dan berusaha menjadi Ayah yang baik. Sungguh, pengorbanan Ayah untuk kali ini membuatku lupa semua apa yang terjadi di masa lalu.
.
.
.
"Jangan terbebani dengan ucapan Ibu yah? Moodnya mungkin saja sedang tidak baik," ucap Mas Yusuf ketika kami telah kembali di kamar.
Aku mengangguk.
"Nazwa."
"Entah setahun, lima tahun, sepuluh tahun kita hidup tanpa anak in syaa Allah kita akan selalu bersama. Saya nggak akan meninggalkanmu," ucap Mas Yusuf lembut dan menarikku masuk ke dalam pelukannya.
"Walau begitu, aku mau punya anak. Kembali dari sini mungkin kita bisa menemui Dokter dan program hamil," jawabku penuh keyakinan.
"Nggak usah, kalau memang sekarang belum di beri itu artinya kita harus terus belajar. Jadi orangtua itu harus banyak persiapannya, dan sebelum Allah beri kita anak ada baiknya kita belajar dulu dari sekarang. Dan jangan stress karena pertanyaan orang-orang yang pasti, kita bahagia."
Entah apa yang aku rasakan kali ini, semuanya terasa campur aduk. Di timpa kebahagiaan sekaligus merasa kurang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Kedua Suamiku (On Going)
Lãng mạnNazwa berpikir, bahwa pernikahannya adalah pernihakan bahagia yang jauh dari kata sedih. Di perlakukan bagai ratu, menjadi Ibu dari seorang anak angkat yang cantik juga baik, selalu di sayangi oleh suaminya dan juga rumah tangganya terbilang minim k...