Khalisa Fajrani. Nama yang indah pemberian dari cinta pertama wanita itu. Seorang Ayah, cinta pertama sekaligus patah hati pertama seorang Khalisa. Khalisa adalah wanita yang terbilang tangguh, di usianya yang masih muda dia memutuskan untuk mengambil peran besar untuk hidupnya dan hidup Ibunya. Pada saat duduk di bangku SMA ia terpaksa bekerja untuk membiyayai sekolahnya dan ketika masuk kuliah, lagi dan lagi dia harus bekerja untuk menghidupi Ibunya dan juga kuliahnya mengingat Ayahnya tidak lagi bertanggung jawab atas hidupnya maupun Ibunya.
Sejak pertemuan Ayahnya dengan wanita yang berhasil merusak rumah tangga orang tuanya dan juga mental Khalisa, ia harus menghadapi banyak sekali luka yang harus ia sembunyikan sendiri. Kali ini, Khalisa harus kembali bertemu dengan seorang Dokter psikiater yang menangani Ibunya. Iya, sakit dan lumpuh hanya alini Khalisa untuk orang-orang yang bertanya pasal keadaan Ibunya.
"Beliau belum mengalami kemajuan apapun, saya berterus terang kepada anda sebab kita harus kembali memikirkan terapi apa yang cocok untuk beliau. Kondisi mental Ibu anda cukup memprihatinkan, depresi yang ia derita sudah bertahun-tahun lamanya jadi untuk penyembuhannya sendiri kita butuh waktu yang lama," terang seorang Dokter psikiater yang menangani Ibu Khalisa.
Khalisa mengangguk, telat bukan berarti tidak bisa di tangani bukan? Ia hanya harus bersabar untuk kesembuhan Ibunya.
"Baik Dokter, in syaa Allah saya akan bersabar dan terus mendukung pengobatan yang Dokter lakukan untuk Ibu saya."
Setelah beberapa perbincangan, Khalisa keluar dan menemui Ibunya. Wanita itu kembali duduk di samping Ibunya yang terus diam dan melamun, Khalisa kembali memeluk tubuh Nari-Ibunya.
"Ibu, Khali hanya punya Ibu di sini. Tolong bertahan, jangan bunuh diri lagi. Tidak apa-apa Ibu melukai Khali yang penting Ibu jangan melukai diri Ibu sendiri," ucap Khalisa dengan suara tertahan.
Nari kembali menatap anaknya dan memeluk Khalisa dengan penuh cinta. Percayalah di tengah kondisi yang benar-benar tidak stabil seperti ini ia kadang memikirkan keadaan Khalisa.
"Khalisa, nama mu ku benci karena pemberian lelaki biadab itu. Tapi, kau tetap anakku," jawab Nari dengan suara lantang.
Sakit dengan perkataan itu? Jelas saja Khalisa merasa sakit, namun berusaha ia tepis karena ia memaklumi keadaan Nari.
Khalisa lalu membawa Ibunya pulang, ketika sudah sampai di parkiran ia tidak sengaja bertemu dengan Nazwa.
"Khalisa, tidak sengaja bertemu kemari. Kau sedang apa?" Tegur Nazwa.
Khalisa terlihat terkejut, apa ia harus berbohong sementara Nazwa sudah melihat Nari di sana? Apalagi Nari terlihat masih mampu berjalan.
"Aku tengah mengantar Ibu kemari, Nazwa mungkin lain hari kita harus bertemu dan membicarakan ini yah? Aku tidak bisa bicara banyak di hadapan Ibu," jawab Khalisa dengan wajah memohon.
Nazwa mengangguk mengerti.
"Kau ada perlu apa ke rumah sakit jiwa?" Tanya Khalisa.
Nazwa tersenyum simpul "Akhir-akhir ini aku tengah terguncang karena beberapa hal, aku memutuskan untuk terapi. Tapi, kali ini aku menolak untuk bertemu psikiater ku di tempat praktek dan memilih mengunjunginya kemari sembari mencari pengalama baru dan juga suasana baru," jawab Nazwa jujur.
"Naz, maaf yah tidak bisa berlama-lama berbincang dengan mu. Aku harus segera pulang membawa Ibu, sebentar lagi jadwal Ibu minum obat akan tiba. Kamu semoga lekas sembuh yah? In syaa Allah aku kirimkan hari dan tempat kita bertemu. Kalau kamu tak keberatan."
Nazwa mengangguk "Tentu saja Khalisa, chat saja tempat pertemuan kita dan aku akan menemui mu. Sepertinya banyak sekali yang ingin kau ceritakan," jawab Nazwa.
Khalisa menggenggam tangan Nari dengan erat, senyum Nazwa terbit dengan lebar. Bahagianya menjadi Khalisa, ia mampu merawat Ibunya dengan hati yang tenang. Tentu saja suatu hari, Nazwa juga mengharapkan hal tersebut.
.
.
.
"Pembukaan restoran nusantara dalam satu bulan sudah meraih kuntungan yang di harapkan. Saya ada sedikit masukan untuk Tuan, untuk "all you can eat" akan di kenai biyaya tambahan jika saja makanan tidak habis. Ini untuk berjaga-jaga dari mubazir makanan, dan beberapa kali ketika saya memantau ada beberapa makanan yang hanya di cicipi sekali dan tidak di makan," ucap Khalisa dengan lugas.
Yusuf mengangguk.
"Masukan mu ada benarnya juga, saya rasa ini akan meminimalisir makanan yang terbuang banyak. Kata Farhan, terlalu banyak yang di buang percum," jawab Yusuf.
"Pendapat mu tolong masukkan dalam pendapat beberapa karyawan yang sudah saya setujui. Jadi, setelah semuanya terkumpul kita harus bergegas membuat aturan restorannya.
"Dan katakan pada manajer restoran, kalau mulai jumat depan akan di adakan bagi-bagi makanan gratis untuk beberapa ojol dan juga orang-orang tak mampu," sambung Yusuf.
Khalisa mengangguk, dan sibuk menulis pesan-pesan Yusuf. Hingga ia mengangkat suara.
"Maaf lancang Tuan, saya kemarin bertemu dengan Nyonya Nazwa di rumah sakit jiwa," ucap Khalisa.
Yusuf terlihat bingung.
"Sedang apa ia di sana?" Tanya Yusuf.
"Mungkin memeriksakan diri atau sebagainya," jawab Khalisa.
Yusuf hanya mengangguk kecil dan menyusuruh Khalisa untuk keluar. Lelaki itu banyak berpikir, dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Sesampainya Yusuf di rumah, ia melihat Nazwa yang tengah sibuk dengan karpet kotornya.
"Aku mau ngomong," ucap Yusuf dengan nada serius.
"Astagfirullah Mas, Mas udah pulang aja?" Tanya Nazwa yang terkejut.
"Aku mau ngomong," ulang Yusuf.
Nazwa mengangguk.
"Kamu ngapain ke rumah sakit jiwa?" Tanya Yusuf dengan tidak sabaran.
"A-aku, aku ke sana untuk bertemu psikiater," jawab Nazwa pelan.
"Kenapa bertemu psikiater? Kamu nggak bahagia sama aku?" Tanya Yusuf dengan suara pelan sembari menggenggam tangan Nazwa dengan erat.
"Aku bahagia Mas, aku hanya mengobati trauma masa lalu ku di sana," jawab Nazwa berbohong.
"Kenapa harus ke sana? Padahal aku selalu berada di sisimu. Cerita padaku, siapa tahu kita bisa sama-sama mencari jalan keluarnya."
"Kali ini berbeda Mas, aku butuh pendampingan oleh ahlinya," jawan Nazwa lagi.
Yusug menatap dalam-dalam mata Nazwa, mata teduh yang selalu membuatnya nyaman. Tangannya spontan menarik tangan Nazwa dan berucap "Kamu bisa cerita sama aku kalau saja punya masalah, jangan sampai di pendam sendiri yah?" Ucap Yusuf lalu memeluk Nazwa.
"Iya Mas," jawab Nazwa cepat.
"Saya khawatir Nazwa, saya takut kamu kenapa-kenapa. Bahkan mendengar rumah sakit jiwa dari mulut Khalisa saya sudah tidak kuat. Apakah saya kurang perhatian kepadamu? Atau saya masih kurang dalam komuniasi dengan mu," ucap Yusuf.
"Aku nggak apa-apa kok Mas, psikiater sudah mengatasi semuanya ini bukan masalah komunikasi atau perhatianmu Mas, tapi karena trauma masa lalu saja," jawab Nazwa membalas pelukan Yusuf.
Awalnya Nazwa bertanya-tanya kepada siapa Yusuf tahu semuanya namun semuanya terjawab ternyata dari Khalisa, Nazwa memang lupa memberitahukan Khalisa untuk merahasiakan semuanya dari Yusuf. Hanya saja, Nazwa kembali lega, Yusuf tahu benar batasan-batasannya, bahkan lelaki itu tak bertanya mendetail mengenai apa yang Nazwa rasakan, ia seolah-olah membiarkan Nazwa berada di ruang ternyamannya tanpa harus ia ganggu dengan berbagai pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Kedua Suamiku (On Going)
RomantizmNazwa berpikir, bahwa pernikahannya adalah pernihakan bahagia yang jauh dari kata sedih. Di perlakukan bagai ratu, menjadi Ibu dari seorang anak angkat yang cantik juga baik, selalu di sayangi oleh suaminya dan juga rumah tangganya terbilang minim k...